Gerakan 30 September PKI melahirkan beberapa Pahlawan Revolusi. Gerakan ini diketahui dengan nama G30S/PKI ialah insiden kelam dalam lembaran sejarah bangsa Indonesia. Pada tanggal tersebut, Kelompok pendukung Partai Komunis Indonesia berusaha melakukan perebutan kekuasaan.
Mereka menculik beberapa perwira tinggi militer dengan tuduhan hendak melaksanakan perebutan kekuasaan. Para korbannya yang lalu disebut selaku satria revolusi ini disiksa secara keji dan lalu dibunuh.
Gerakan tersebut terjadi bukan hanya di Jakarta saja namun juga di Yogyakarta. Akibat gerakan PKI tersebut 10 orang yang berisikan beberapa perwira tinggi Angkatan Darat menjadi korban keganasan PKI.
Peristiwa G30S/PKI juga menjadi salah satu pemicu tumbangnya pemerintahan orde lama yang dipimpin oleh Ir. Soekarno. Adapun 10 korban keganasan PKI yang oleh pemerintah kemudian dianugerahi gelar Pahlawan Revolusi serta juga diakui sebagai Pahlawan Nasional. Siapa saja mereka? Berikut 10 biografi jagoan revolusi Indonesia yang perlu kamu pahami.
Daftar Isi
Daftar Isi:
Biografi Pahlawan Revolusi Indonesia
Jenderal TNI Ahmad Yani
Jenderal TNI Ahmad Yani dimengerti lahir di Purworejo, Jawa Tengah pada tanggal 19 Juni 1922. Semasa muda pernah menjalani wajib militer selaku tentara Hindia Belanda. Kemudian ketika jepang berkuasa di Indonesia, Ahmad Yani menjadi anggota serdadu PETA (Pembela Tanah Air).
Setelah Indonesia merdeka, Ahmad Yani lalu bergabung dengan Tentara Nasional Indonesia yang kurun itu masih berjulukan TKR (Tentara Keamanan Rakyat). Ia menjadi komandan tentara di Magelang dan sukses mempertahankan kota itu dari serangan Inggris pasca proklamasi kemerdekaan.
Ahmad Yani juga pernah melaksanakan gerilya melawan Belanda dikala agresi militer Belanda. Setelah akreditasi kedaulatan Indonesia oleh Belanda, Ahmad Yani kemudian ditarik ke Tegal, Jawa Tengah. Disana dia bersama pasukan khusus bentukannya yang bernama Banteng Raiders sukses menumpas pemberontakan Darul Islam yang dibuat oleh Kartosuwiryo.
Prestasinya tersebut menciptakan pemerintah Indonesia mengirim Ahmad Yani untuk kursus militer di Amerika Serikat dan disediakan sebagai kandidat jenderal. Setelah kembali ke Indonesia, beliau kemudian ditarik ke Markas Besar Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat di Jakarta selaku staf lazim Jenderal A.H Nasution.
Tahun 1958, Pahlawan revolusi ini sukses memadamkan pemberontakan PRRI pimpinan letkol Ahmad Husein di Sumatera Barat. Prestasi Ahmad Yani itu membuatnya dipromosikan selaku wakil kepala angkatan darat pada tahun 1962. Setahun selanjutnya Ahmad Yani dilantik menjadi Kepala atau Panglima TNI Angkatan Darat menggantikan Jenderal AH Nasution.
Tanggal 30 September menjelang 1 Oktober 1965 dini hari, Jenderal TNI Ahmad Yani diculik oleh pasukan Cakrabirawa pimpinan Letnan Kolonel Untung yang berhubungan dengan PKI. Ketika diculik dari rumahnya, Ahmad Yani telah tewas ditembak oleh pasukan cakrabirawa. Mayatnya lalu dibawa dan dimasukkan ke dalam sumur renta di kawasan lubang buaya di erat Bandara Halim Perdanakusuma.
Jenazah Ahmad Yani bareng para jenderal lainnya yang menjadi korban diangkat dari sumur pada tanggal 4 oktober 1965. Selanjutnya Jenderal Ahmad Yani dimakamkan secara militer di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta. Pemerintah Indonesia lalu menganugerahkan gelar Pahlawan Revolusi kepada Jenderal TNI Ahmad Yani.
Mayjen TNI S. Parman
Nama lengkapnya yakni Mayor Jenderal Siswondo Parman. Ia dilahirkan di Wonosobo, Jawa Tengah pada tanggal 14 Agustus 1918. Sempat masuk sekolah kedokteran namun berhenti karena Jepang menguasai Indonesia.
Dimasa kependudukan Jepang, beliau bekerja untuk polisi militer Jepang yang disebut Kampetai. Tak usang lalu, Parman diantarke Jepang untuk mengikuti training intelijen. Setelah jepang mengalah, Parman menjadi seorang penerjemah.
Karir miiter Siswondo Parman di TNI dimulai saat beliau bergabung dengan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) pasca kemerdekaan Indonesia tahun 1945. Beberapa bulan kemudian dia diangkat menjadi kepala staf polisi militer yang berkedudukan di Yogyakarta.
Hanya beberapa tahun saja, S. Parman naik jabatan menjadi kepala staf Gubernur militer Jabodetabek dengan pangkat Mayor. Prestasinya dalam menggagalkan pemberontakan APRA (Angkatan Perang Ratu Adil) pimpinan Raymond Westerling membuat S. Parman diantarke Amerika mencar ilmu di Sekolah Polisi Militer.
Salah satu satria revolusi ini sempat memegang jabatan di markas besar Polisi Milter Nasional, Departemen Pertahanan Indonesia sampai menjadi atase militer Indonesia di London, Inggris. Tak usang kemudian dia ditarik ke Indonesia menjadi ajun intelijen untuk KSAD Jenderal Ahmad Yani.
Tanggal 30 September 1965, Mayor Jenderal Siswondo Parman diculik oleh pasukan Cakrabirawa dari rumahnya dan dibawah ke daerah lubang buaya di daerah Halim Perdanakusuma. Disana, dia ditembak bareng beberapa perwira tinggi Angkatan Darat yang lain.
Jasad Mayjen S. Parman lalu dimasukkan ke dalam sumur bau tanah ditumpuk bersama jasad jenderal lainnya yang sudah dieksekusi oleh PKI. Jasadnya gres dikeluarkan dari sumur pada tanggal 4 oktober 1965.
Mayjen S. Parman bareng dengan jasad jenderal yang lain dimakamkan di taman makam hero Kalibata, Jakarta. Pemerintah Indonesia memperlihatkan gelar jagoan revolusi kepada Mayor Jenderal S. Parman dan pangkatnya dinaikkan secara anumerta menjadi Letnan Jenderal.
Brigjen TNI DI Pandjaitan
DI Pandjaitan atau yang dikenal dengan nama lengkap Brigjen TNI Donald Isaac Pandjaitan lahir pada tanggal 9 Juni 1925 di Balige, Sumatera Utara. Jepang menguasai Indonesia ketika ia menuntaskan sekolahnya. Tamat SMA, DI Pandjaitan menjadi anggota Gyugun atau prajurit sukarela di Pekanbaru, Riau.
Pasca kemerdekaan Indonesia tahu 1945, DI Pandjaitan bergabung dalam TKR (Tentara Keamanan Rakyat) yang gres saja dibentuk. Pertama kali dia menjadi komandan batalyon berikutnya ditugaskan di di Bukittinggi selaku Komandan Pendidikan Divisi IX/Banteng tahun 1948.
Tak lama kemudian pahlawan revolusi ini menjadi Kepala Staf Umum IV (Supplay) Komandemen Tentara Sumatera selanjutnya menjadi Pimpinan Perbekalan Perjuangan Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) dikala Agresi Militer Belanda I dan II.
Pasca legalisasi kedaulatan Indonesia olelh Belanda, DI Pandjaitan naik jabatan menjadi Kepala Staf Operasi Tentara dan Teritorium (T&T) I Bukit Barisan di Medan kemudian menjadi Kepala Staf T & T II/Sriwijaya.
Tahun 1963, DI Pandjaitan diantarke Amerika Serikat untuk kursus militer di Associated Command and General Staff College di Forth Leavenworth. Ia sempat ditugaskan selaku atase militer Indonesia di Bonn, Jerman tahun 1960 sesudah sebelumnya mengikuti kursus atase militer tahun 1956. Dua tahun lalu, D.I Pandjaitan kemudian diperintahkan sebagai Asisten Menteri Panglima Angkatan Darat Jenderal AH Nasution untuk persoalan logistik.
Tanggal 01 Oktober 1965 dini hari, D.I Panjaitan dijemput paksa oleh sekelompok pasukan Cakrabirawa dengan alasan diundang oleh Presiden Soekarno. Pasukan mendobrak masuk, tetapi perlawanan dijalankan oleh orang yang berada di rumah DI Pandjaitan ialah Albert Naiborhu dan Viktor Naiborhu. Keduanya terluka berat dan tak usang lalu Albert tewas sesudah lima butir peluru bersarang di tubuhnya.
Setelah berpakaian seragam Tentara Nasional Indonesia lengkap, DI Pandjaitan turun menemui pasukan Cakrabirawa yang hendak membawanya pergi. Setelah berdoa, DI Pandjaitan dieksekusi mati di depan rumahnya.
Mayatnya lalu dibawa ke daerah lubang buaya di Halim Perdanakusuma. Tubuhnya bareng dengan para jenderal lain yang sudah dihukum dimasukkan ke dalam sumur renta dan ditimbun dengan batang pisang. Jasad satria revolusi ini gres dievakuasi pada tanggal 4 Oktober 1965. DI Pandjaitan lalu dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta. Ia dianugerahi gelar Pahlawan Revolusi oleh pemerintah.
Mayjen M.T Haryono
Mayor Jenderal Mas Tirtodarmo Haryono atau lebih dikenal dengan nama Mayjen MT Haryono lahir di Surabaya, Jawa Timur tanggal 20 Januari 1924.
Setelah menuntaskan pendidikan dasarnya, beliau sempat mengenyam pendidikan di Ika Dai Gakko (Sekolah Tinggi Kedokteran) zaman Jepang tetapi tidak sampai simpulan karena Jepang menyerah.
Setelah proklamasi Kemerdekaan tahun 1945, MT Haryono lalu bergabung dengan TKR (Tentara Keamanan Rakyat) dan mendapatkan berpangkat Mayor.
Dimasa menjaga kemerdekaan, Pahlawan Revolusi ini berulang kali menjadi diperintahkan selaku anggota delegasi Indonesia dalam perundingan dengan Inggris serta Belanda misalnya dalam Konferensi Meja Bundar (KMB).
Keahliannya dalam berunding serta menguasai beberapa bahasa abnormal seperti Inggris, Jerman dan Belanda membuat dia didaulat sebagai atase militer Indonesia di Belanda. Setelahnya, dia kemudian kembali ke Indonesia dan diangkat sebagai Asisten atau Deputi III Menteri/Panglima Angkatan Darat Jenderal Ahmad Yani bagian training serta perencanaan.
Tanggal 1 Oktober 1965 dini hari, MT Haryono dijemput oleh pasukan Cakrabirawa. Pasukan tersebut merangsek masuk ke kamar yang tidak terkunci mencari MT Haryono. Keadaan kamar yang gelap menciptakan MT Haryono mencoba merebut senjata seorang pasukan Cakrabirawa namun gagal.
Pahlawan revolusi ini kemudian mencoba melarikan diri keluar kamar. Namun tentara Cakrabirawa yang bernama Boengkoes pribadi menembak mati MT Haryono. Selanjutnya mayit MT Haryono kemudian diseret dan dinaikkan ke truk. Ia lalu dibawa ke tempat lubang buaya di Halim Perdanakusuma. Disana jasadnya kemudian dimasukkan dalam sumur renta bareng jasad para jenderal yang lain yang telah dihukum.
Jasad MT Haryono baru diketemukan pada tanggal 4 Oktober 1965. Selanjutnya dia lalu di makakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta. Presiden Soekarno lalu memperlihatkan gelar Pahlawan Revolusi terhadap MT Haryono. Pangkatnya juga dinaikkan satu tingkat menjadi Letnan Jenderal (Anumerta).
Mayjen R. Suprapto
Mayjen R. Suprapto lahir di Purwokerto, Jawa Tengah pada tanggal 20 Juni 1920. Setelah menyelesaikan pendidikan menengah atasnya, Suprapto kemudian mengikuti pembinaan militer di Koninklijke Militaire Akademie di Bandung. Namun beliau tak hingga simpulan alasannya adalah Jepang menguasai Indonesia.
R. Suprapto kemudian ditahan dan dijebloskan ke penjara. Namun beliau sukses melarikan diri. Ia sempat mengikuti pelatihan keibodan, seinendan, dan syuisyintai yang diadakan oleh Jepang. Setelah itu, beliau memilih melakukan pekerjaan di Kantor Pendidikan Masyarakat.
Setelah Indonesia merdeka, R. Suprapto lalu bergabung dalam TKR (Tentara Keamanan Rakyat). Ia terlibat langsung dalam peperangan Ambarawa bareng Jenderal Sudirman melawan serdadu Inggris.
Setelah Belanda mengakui kedaulatan Indonesia, R. Suprapto diperintahkan menjadi Kepala Staf Tentara dan Teritorial (T&T) IV/ Diponegoro di Semarang. Setelah itu ia pindah ke Jakarta menjadi Staf Angkatan Darat dan Kementrian Pertahanan.
Beberapa tahun lalu, Pahlawan revolusi ini lalu diangkat selaku Deputi (Wakil) Kepala Staf Angkatan Darat untuk Sumatera yang berkedudukan di Medan. Hingga lalu dia kembali ke Jakarta menjadi salah satu perwira tinggi Angkatan Darat dengan pangkat Mayor Jenderal.
Pada tanggal 1 Oktober 1965 waktu dini hari, R Suprapto dijemput oleh Pasukan Cakrabirawa dengan dalih diundang menghadap Presiden Soekarno. Suprapto kemudian dibawa ke tempat Halim Perdanankusuma tepatnya di lubang buaya.
Disana R. Suprapto disiksa dan kemudian di eksekusi mati. Menurut riset Indoleaks tahun 2010, R. Suprapto mengalami 11 luka tembak dan 3 luka tusuk yang mengakibatkan dia gugur. Berbeda yang digambarkan oleh pemerintah Orde Baru Soeharto dimana digambarkan R. Suprapto mengalami siksaan keji seperti disayat menggunakan silet hingga alat kelaminnya yang dipotong.
Jasadnya R. Suprapto ditemukan pada tanggal 04 Oktober 1965 dalam sumur tua yang telah ditimbun setelah dilaksanakan evakuasi oleh anggota marinir. Jasadnya kemudian dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta. S. Suprapto kemudian dianugerahi gelar pahlawan revolusi oleh pemerintah Indonesia.
Mayjen TNI Sutoyo Siswomiharjo
Sutoyo Siswomiharjo dilahirkan di Purworejo, Jawa Tengah pada tanggal 28 Agustus 1922. Setelah menamatkan pendidikannya di AMS, Ia kemudian berguru di Sekolah Pendidikan Pegawai Negeri di Jakarta. Setelah akhir, ia lalu melakukan pekerjaan selaku pegawai pemerintah di Purworejo namun berhenti pada tahun 1944.
Pasca Indonesia merdeka tahun 1945, Sutoyo Siswomiharjo atau biasa diundang pak Toyo menentukan bergabung dengan satuan Polisi Tentara Keamanan Rakyat. Tak usang lalu dia diperintahkan sebagai tangan kanan dari Jenderal Gatot Subroto yang periode itu menjabat selaku komandan polisi militer.
Setelah usang bertugas di polisi militer, Sutoyo Siswomiharjo jadinya menjabat selaku kepala staf Markas Besar Polisi Militer tahun 1954. Hanya beberapa tahun saja menjabat, beliau lalu diperintahkan selaku asisten atase militer di kedubes Indonesia di Inggris.
Setelah menyelesaikan sekolah staf dan komando di Bandung tahun 1960, Sutoyo ditugaskan selaku Inspektur Kehakiman Angkatan Darat. Setelahnya, dia kemudian naik menjadi Inspektur Kehakiman atau Jaksa Militer Utama dengan pangkat Brigadir Jenderal TNI.
Sutoyo Siswomiharjo termasuk dalam daftar perwira tinggi di Angkatan Darat yang kemudian diculik oleh pasukan Cakrabirawa. Sutoyo dijemput oleh pasukan Cakrabirawa di rumahnya. Ia kemudian dibawa ke wilayah lubang buaya di wilayah Halim Perdanakusuma.
Disana dia disiksa dan lalu dihukum mati di lokasi tersebut bareng dengan para perwira tinggi AD yang lain. Jasad Sutoyo dimasukkan dalam sumur tua dan ditimbun. Ia gres evakuasi pada tanggal 4 Oktober 1965.
Sutoyo Siswomiharjo bareng dengan jasad para perwira tinggi AD lainnya dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta. Beliau kemudian dianugerahkan gelar jagoan revolusi oleh presiden Soekarno.
Kapten Czi. Pierre Tendean
Nama lengkapnya yakni Pierre Andries Tendean. Ia lebih diketahui dengan nama Pierre Tendean. Ia lahir pada tanggal 21 Januari 1939. Sejak kecil dia sudah bercita-cita menjadi seorang serdadu. Setelah menuntaskan sekolahnya, ia lalu bergabung di sekolah miiliter Akademi Teknik Angkatan Darat (ATEKAD). Selama sekolah, dia bahkan sempat terlibat dalam operasi militer menumpas pemberontakan PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia) di Sumatera.
Setelah lulus, Pierre ditugaskan sebagai Komandan Pleton Batalyon Zeni Tempur 2 Kodam II/Bukit Barisan di Medan dengan pangkat Letnan Dua. Beberapa tahun kemudian ia bergabung di Dinas Pusat Intelijen Angkatan Darat (DIPIAD). Dari situ beliau diperintahkan sebagai intelijen di Malaysia saat Indonesia dan Malaysia mengadakan konfrontasi.
Dari situ, Pierre lalu naik pangkat sebagai letnan satu dan ditarik menjadi ajudan Jenderal A.H Nasution. Tanggal 1 Oktober 1965 dini hari, Pasukan Cakrabirawa datang untuk menculik Jenderal A.H Nasution yang menjadi target utama.
Namun alasannya adalah waktu yang telah mendesak, pasukan Cakrabirawa tidak bisa membedakan antara Pierre Tendean dan A.H Nasution sehingga mereka menjinjing Pierre Tendean. A.H Nasutio sendiri berhasil melarikan diri dengan melompati pagar rumahnya tetapi dia terluka di kakinya.
Pahlawan Revolusi ini disiksa dan dieksekusi mati bersama dengan perwira tinggi Angkatan Darat lain yang sudah diculik sebelumnya. Jasad Pierre Tendean kemudian dimasukkan ke dalam sumur bau tanah di Lubang Buaya wilayah Halim Perdanakusuma.
Jasad Pierre Tendean gres ditemukan dan dievakuasi pada tanggal 4 Oktober 1965. Ia kemudian dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta. Pemerintah Indonesia lewat Presiden Soekarno memperlihatkan penghargaan gelar Pahlawan Revolusi kepada Pierre Tendean. Pengkat Pierre Tendean juga dinaikkan satu tingkat menjadi Kapten.
Brigjen Katamso Darmokusumo
Katamso Darmokusumo dilahirkan di Sragen, Jawa Tengah pada tanggal 5 Februari 1923. Setelah menamatkan sekolahnya, beliau kemudian bergabung dalam pelatihan tentara PETA. Setelah Proklamasi kemerdekaan Indonesia tahun 1945, Katamso bergabung dengan TKR (Tentara Keamanan Rakyat).
Ia juga kadang-kadang terlibat pertempuran saat aksi militer Belanda I dan II berlangsung. Setelah pengukuhan kedaulatan Indonesia, Katamso ditugaskan menumpas pemberontakan Batalion 426 yang ialah bab dari pemberontakan DI/TII di Jawa Tengah pimpinan Amir Fatah.
Katamso juga ikut terlibat selaku Komandan Batalion A dalam Operasi 17 Agustus yang kala itu bermaksud menumpas pemberontakan PRRI/Permesta. Beberapa tahun lalu, Katamso Darmokusumo naik jabatan menjadi Komandan Korem 072 Kodam VII/Diponegoro.
katamso dimengerti sering memberikan pelatihan militer terhadap mahasiswa guna menghadapi kegiatan PKI yang ada di Solo, Yogyakarta. Sebab itulah ia lalu menjadi sasaran penculikan PKI.
Tanggal 1 Oktober 1965, Gerakan 30 September oleh PKI juga terjadi di Yogyakarta selain di Jakarta. Simpatisan PKI era itu yang dimotori oleh Mayor Mulyono yang menjabat sebagai Kepala Seksi (Kasi) Korem 72/Pamungkas.
Penculikan Katamso Siswomiharjo dilakukan pada sore hari tanggal 1 Oktober 1965. Ia diculik di rumahnya oleh anak buahnya sendiri. Selanjutnya ia kemudian dibawa ke Markas Komando Yon L di daerah Kentungan, Yogyakarta.
Selanjutnya, beliau dibawa ke lokasi pembataian dimana eksekusi dilaksanakan oleh Sertu Alif Toyo dengan hantaman kunci mortir dengan berat 2 kilogram ke kepala Katamso Siswomiharjo. Ia tersungkur dan masih hidup dikala itu, tetapi kemudian gugur dikala dia dihantam kedua kalinya.
Jasad Brigjen Katamso Darmokusumo gres didapatkan pada tanggal 21 oktober 1965 sesudah dikerjakan penncarian besar-besaran. Brigjen Katamso Darmokusumo lalu dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kusumanegara Yogyakarta. Beliau lalu diberi penghargaan selaku Pahlawan Revolusi oleh pemerintah Indonesia dan pangkatnya juga dinaikkan satu tingkat.
Kolonel Sugiono
Nama lengkapnya adalah Sugiono Mangunwiyoto. Beliau dilahirkan di Gunung Kidul Yogyakarta pada tanggal 12 Agustus 1926. Setelah menuntaskan sekolahnya, Sugiono kepincut menjadi seorang guru tetapi hal tersebut gagal alasannya Jepang menguasai Indonesia.
Di abad kependudukan Jepang, Ia menentukan bergabung dengan PETA (Pembela Tanah Air) dengan posisi komandan regu berpangkat sersan. Setelah Indonesia merdeka, Sugiono bergabung dengan BKR (Badan Keamanan Rakyat) dengan posisi Komandan Seksi I Kompi 2 Batalyon 10 Resimen III di Yogyakarta.
Sugiono juga ikut andil dalam kejadian Serangan Umum 1 Maret bareng dengan Letnan Kolonel Soeharto. Pasca pengesahan kedaultan Indonesia oleh Belanda, Sugiono naik pangkat selaku kapten menajdi komandan kompi 4 Batalyon 411 Brigade C di Purworejo.
Ia dikenali turut andil dalam pembentukan satuan Yon Banteng Raiders yang masa itu dibuat oleh Jenderal Ahmad Yani. Ia sempat menjadi komandan kompi Banteng Raiders dengan pangkat Kapten Infantri dan kemudian naik menjadi Mayor.
Tahun 1960an, Sugiono sudah menjabat selaku Kodim di Pati dan kemudian naik jabatan menjadi komandan korem di Yogyakarta dengan pangkat Letnan Kolonel. Inilah jabatan terakhirnya sebelum ia diculik oleh pasukan pemberontak ‘Gerakan 30 September’.
Kolonel Sugiono diculik bareng atasannya Brigjen Katamso Darmokusumo oleh pasukan yang dipimpin oleh Mayor Mulyono. Pasukan tersebut mendukung Gerakan 30 September PKI. Kolonel Sugiono yang masa itu berkunjung ke tempat tinggal atasannya ikut diculik dan dibawa ke Kentungan, Utara Yogyakarta.
Disana beliau bareng Brigjejn Katamso Darmokusumo dieksekusui oleh Sertu Alif Toyo dengan cara dihamtam memakai kunci mortir seberat 2 kilogram. Setelah tewas, jasad Kolonel Sugiono bersama Brigjen Katamso dikubur dan baru didapatkan setelah tiga minggu kemudian.
Kolonel Sugiono kemudian dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kusumanegara Yogyakarta. Setelah itu, beliau kemudian dianugerahan gelar Pahlawan Revolusi oleh Pemerintah Indonesiia.
Ajun Inspektur Polisi Karel Satsuit Tubun
Karel Satsuit Tubun dilahirkan pada tanggal 14 Oktober 1928 di Maluku Tenggara. Ia dimengerti merupakan polisi pertama yang menjadi satria nasional. Setelah menuntaskan sekolahnya, Karel Satsuit Tubun kemudian mendaftar sebagai seorang polisi. Ia lalu diterima dan mengikuti pendidikan kepolisian.
Setelah lulus pendidikan, KS Tubun diperintahkan di Satuan Brimob Ambon dengan pangkat Agen Polisi Kelas Dua. Setelah itu ia ditugaskan ke Jakarta. Pangkat KS Tubun pun naik menjadi Agen Polisi Kelas Satu.
Karel Satsuit Tubun atau KS Tubun diketahui ikut ikut serta dalam operasi militer Dwikora dalam rangka pembebasan Irian Barat dari tangan Belanda. Setelah operasi final, ia lalu naik pangkat selaku Brigadir Polisi dan ditugaskan menemani rumah Wakil Perdana Menteri Dr. J Leimena di Jakarta.
Karel Satsuit Tubun gugur ditembak oleh pasukan Cakrabirawa yang masa itu hendak menculik Panglima Angkatan Darat Jenderal A.H Nasution. Karel Satsuit Tubun yang masa itu sedang tidur, terbangun mendengar bunyi gaduh. Ia menduga temannya sedang membangunkannya.
Namun ternyata orang lain. Dengan gesit Karel Satsuit Tubun mencoba mengambil senjata dan melaksanakan perlawanan. Namun sebab perlawanan yang tidak seimbang adalah 1 banding 8, Karel Satsuit Tubun tewas sesudah beberapa peluru dari pasukan Cakrabirawa menembus tubuhnya.
Jasad Karel Satsuit Tubun kemudian dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta. Pemerintah Indonesia melalui Presiden Sokarno memberikan gelar Pahlawan Revolusi dan diakui juga selaku Pahlawan Nasional terhadap Karel Satsuit Tubun. Pangkatnya juga dinaikkan secara Anumerta menjadi Ajun Inspektur Dua Polisi.