Biografi W.S Rendra. Bernama lengkap Willibrordus Surendra Broto Rendra, ia lahir di Solo tanggal 7 November 1935. Beliau yakni penyair ternama yang kerap dijuluki sebagai “Burung Merak”. Ia mendirikan Bengkel Teater di Yogyakarta pada tahun 1967 dan juga Bengkel Teater Rendra di Depok. Semenjak masa kuliah ia sudah aktif menulis cerpen dan esai di aneka macam majalah. Rendra yakni anak dari pasangan R. Cyprianus Sugeng Brotoatmodjo dan Raden Ayu Catharina Ismadillah. Ayahnya yaitu seorang guru Bahasa Indonesia dan Bahasa Jawa pada sekolah Nasrani, Solo, di samping sebagai dramawan tradisional; sedangkan ibunya yaitu penari serimpi di keraton Surakarta.
Masa Kecil WS Rendra
Masa kecil sampai remaja Rendra dihabiskannya di kota kelahirannya itu. Ia memulai pendidikannya dari TK (1942) hingga menyelesaikan sekolah menengah atasnya, Sekolah Menengan Atas (1952), di sekolah Kristen, St. Yosef di kota Solo. Setamat SMA Rendra pergi ke Jakarta dengan maksud bersekolah di Akademi Luar Negeri. Ternyata akademi tersebut telah ditutup. Lalu dia pergi ke Yogyakarta dan masuk ke Fakultas Sastra, Universitas Gajah Mada. Walaupun tidak menyelesaikan kuliahnya , tidak berarti beliau berhenti untuk mencar ilmu. Pada tahun 1954 beliau memperdalam pengetahuannya dalam bidang drama dan tari di Amerika, dia mendapat beasiswa dari American Academy of Dramatical Art (AADA). Ia juga mengikuti seminar tentang kesusastraan di Universitas Harvard atas seruan pemerintah lokal.
Bakat sastra Rendra sudah mulai terlihat dikala ia duduk di kursi SMP. Saat itu ia telah mulai memperlihatkan kemampuannya dengan menulis puisi, kisah pendek dan drama untuk banyak sekali kegiatan sekolahnya. Bukan hanya menulis, ternyata ia juga cakap di atas panggung. Ia mementaskan beberapa dramanya, dan khususnya tampil sebagai pembaca puisi yang sungguh berbakat. Ia petama kali mempublikasikan puisinya di media massa pada tahun 1952 melalui majalah Siasat. Setelah itu, puisi-puisinya pun tanpa kendala mengalir menghiasi aneka macam majalah pada dikala itu, mirip Kisah, Seni, Basis, Konfrontasi, dan Siasat Baru. Hal itu terus berlanjut seperti tampakdalam majalah-majalah pada dekade berikutnya, terutama majalah tahun 60-an dan tahun 70-an.
“Kaki Palsu” yaitu drama pertamanya, dipentaskan saat beliau di Sekolah Menengah Pertama, dan “Orang-Orang di Tikungan Jalan” yaitu drama pertamanya yang mendapat penghargaan dan kado pertama dari Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Yogyakarta. Pada dikala itu beliau sudah duduk di SMA. Penghargaan itu menjadikannya sungguh bernafsu untuk berkarya. Prof. A. Teeuw, di dalam bukunya Sastra Indonesia Modern II (1989), berpendapat bahwa dalam sejarah kesusastraan Indonesia modern Rendra tidak tergolong ke dalam salah satu angkatan atau golongan seperti Angkatan 45, Angkatan 60-an, atau Angkatan 70-an. Dari karya-karyanya tampakbahwa ia memiliki kepribadian dan keleluasaan sendiri.
Penghargaan WS Rendra
Karya-karya Rendra tidak hanya terkenal di dalam negeri, namun juga di mancanegara. Banyak karyanya yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa abnormal, di antaranya bahasa Inggris, Belanda, Jerman, Jepang dan India. Ia juga aktif mengikuti bazar-pameran di mancanegara, di antaranya The Rotterdam International Poetry Festival (1971 dan 1979), The Valmiki International Poetry Festival, New Delhi (1985), Berliner Horizonte Festival, Berlin (1985), The First New York Festival Of the Arts (1988), Spoleto Festival, Melbourne, Vagarth World Poetry Festival, Bhopal (1989), World Poetry Festival, Kuala Lumpur (1992), dan Tokyo Festival (1995). Untuk aktivitas seninya Rendra sudah mendapatkan banyak penghargaan, antara lain Hadiah Pertama Sayembara Penulisan Drama dari Bagian Kesenian Departemen Pendidikan dan Kebudayaan , Yogyakarta (1954) Hadiah Sastra Nasional BMKN (1956); Anugerah Seni dari Pemerintah Republik Indonesia (1970); Hadiah Akademi Jakarta (1975); Hadiah Yayasan Buku Utama, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1976) ; Penghargaan Adam Malik (1989); The S.E.A. Write Award (1996) dan Penghargaan Achmad Bakri (2006).
Baru pada usia 24 tahun, dia mendapatkan cinta pertama pada diri Sunarti Suwandi. Dari wanita yang dinikahinya pada 31 Maret 1959 itu, Rendra menerima lima anak: Teddy Satya Nugraha, Andreas Wahyu Wahyana, Daniel Seta, Samuel Musa, dan Klara Sinta. Satu di antara muridnya yaitu Bendoro Raden Ayu Sitoresmi Prabuningrat, putri aristokrat Keraton Yogyakarta, yang bersedia lebur dalam kehidupan impulsif dan urakan di Bengkel Teater. Tugas Jeng Sito, begitu panggilan Rendra kepadanya, antara lain menyuapi dan memandikan keempat anak Rendra-Sunarti.
Ujung-ujungnya, ditemani Sunarti, Rendra melamar Sito untuk menjadi istri kedua, dan Sito menerimanya. Dia dinamis, aktif, dan punya kesehatan yang tersadar, tutur Sito ihwal Rendra, terhadap Kastoyo Ramelan dari Gatra. Satu-satunya kendala tiba dari ayah Sito yang tidak membolehkan putrinya, yang beragama Islam, dinikahi seorang pemuda Nasrani. Tapi hal itu bukan halangan besar bagi Rendra. Ia yang pernah menulis litani dan mazmur, serta memerankan Yesus Kristus dalam lakon drama penyaliban Cinta dalam Luka, memilih untuk mengucapkan dua kalimat syahadat pada hari perkawinannya dengan Sito, 12 Agustus 1970, dengan saksi Taufiq Ismail dan Ajip Rosidi.
Peristiwa itu, tak pelak lagi, mengundang berbagai komentar sinis seperti Rendra masuk Islam hanya untuk poligami. Terhadap tudingan tersebut, Rendra memberi alasan bahwa ketertarikannya pada Islam bekerjsama sudah berlangsung usang. Terutama semenjak antisipasi pementasan Kasidah Barzanji, beberapa bulan sebelum pernikahannya dengan Sito. Tapi alasan yang lebih prinsipil bagi Rendra, sebab Islam mampu menjawab persoalan pokok yang terus menghantuinya selama ini: kemerdekaan individual sepenuhnya. Saya bisa pribadi beribadah kepada Allah tanpa membutuhkan pertolongan orang lain. Sehingga saya merasa hak individu saya dihargai, katanya sambil mengutip ayat Alquran, yang menyatakan bahwa Allah lebih akrab dari urat leher seseorang. Toh kehidupannya dalam satu atap dengan dua istri menimbulkan Rendra dituding selaku haus publisitas dan gemar popularitas. Tapi ia menanggapinya dengan ringan saja.
Seperti saat ia menjamu seorang rekannya dari Australia di Kebun Binatang Gembira Loka, Yogyakarta. Ketika menyaksikan seekor burung merak berlangsung bersama dua betinanya, Rendra berseru sambil tertawa terbahak-bahak, Itu Rendra! Itu Rendra!. Sejak itu, julukan Burung Merak melekat padanya sampai sekarang. Dari Sitoresmi, beliau menerima empat anak: Yonas Salya, Sarah Drupadi, Naomi Srikandi, dan Rachel Saraswati. Sang Burung Merak kembali mengibaskan keindahan sayapnya dengan mempersunting Ken Zuraida, istri ketiga yang memberinya dua anak: Isaias Sadewa dan Maryam Supraba. Tapi ijab kabul itu harus dibayar mahal alasannya tak usang sesudah kelahiran Maryam, Rendra menceraikan Sitoresmi pada 1979, dan Sunarti tak usang lalu.
Karya Sajak/Puisi W.S. Rendra
- Jangan Takut Ibu
- Balada Orang-Orang Tercinta (Kumpulan sajak)
- Empat Kumpulan Sajak
- Rick dari Corona
- Potret Pembangunan Dalam Puisi
- Bersatulah Pelacur-Pelacur Kota Jakarta!
- Nyanyian Angsa
- Pesan Pencopet terhadap Pacarnya
- Rendra: Ballads and Blues Poem (terjemahan)
- Perjuangan Suku Naga
- Blues untuk Bonnie
- Pamphleten van een Dichter
- State of Emergency
- Sajak Seorang Tua wacana Bandung Lautan Api
- Mencari Bapak
- Rumpun Alang-alang
- Surat Cinta
- Sajak Rajawali
- Sajak Seonggok Jagung