Setelah menamatkan Sekolah Menengan Atas, ia mendapatkan beasiswa dari Bohn’s Scholarships untuk kuliah di jurusan matematika terapan, teknik elektro, dan fisika di Universitas Wisconsin-Madison, Amerika Serikat. Tawaran ini diperolehnya sebab beliau menjadi salah satu finalis TOFI. Ia berhasil meraih gelar bachelor of science kurang dari tiga tahun dengan predikat summa cum laude. Setelah menyelesaikan program S-1 pada tahun 1998, dia menerima banyak ajuan beasiswa dari aneka macam perguruan tinggi tinggi terkemuka di Amerika Serikat. Walaupun demikian, ia menentukan tetap kuliah di Universitas Wisconsin dan menjangkau gelar doktor di bidang electrical engineering pada bulan Mei 2003.
Selama menyelesaikan acara doktor, Prof. Nelson menemukan aneka macam prestasi gemilang di antaranya adalah WARF Graduate University Fellowships dan Graduate Dissertator Travel Funding Award. Penelitan doktornya di bidang photonics, optoelectronics, dan semiconductor nanostructires juga menjangkau penghargaan tertinggi di departemennya, ialah The 2003 Harold A. Peterson Best ECE Research Paper Award.
Setelah memperoleh gelar doktor, Nelson mendapat tawaran menjadi tangan kanan profesor dari berbagai universitas terkemuka di Amerika Serikat. Akhirnya pada permulaan tahun 2003, ketika masih berusia 25 tahun, ia menjadi asisten profesor di bidang electrical and computer engineering, Lehigh University. Lehigh University merupakan suatu universitas papan atas di bidang teknik dan fisika di kawasan East Coast, Amerika Serikat.
Saat ini Prof. Nelson menjadi profesor di universitas ternama Amerika, Lehigh University, Pensilvania dan mengajar para mahasiswa di tingkat master (S-2), doktor (S-3) dan post doctoral Departemen Teknik Elektro dan Komputer. Lebih dari 84 hasil riset maupun karya tulisnya sudah dipublikasikan di berbagai konferensi dan jurnal ilmiah internasional. Ia juga sering diundang menjadi pembicara utama di banyak sekali seminar, pertemuan dan konferensi intelektual, baik di aneka macam kota di AS dan luar AS mirip Kanada, Eropa dan Asia. Prof Nelson telah mendapatkan 11 penghargaan dan tiga hak paten atas inovasi risetnya. Ada tiga inovasi ilmiahnya yang sudah dipatenkan di AS, adalah bidang semiconductor nanostructure optoelectronics devices dan high power semiconductor lasers.
Ketika masih di Sekolah Dasar, Prof. Nelson gemar membaca biografi para fisikawan ternama. Ia sangat mengagumi prestasi para fisikawan tersebut alasannya adalah banyak fisikawan yang telah meraih gelar doktor, menjadi profesor dan bahkan ada beberapa fisikawan yang berhasil menemukan teori (eyang Einstein) dikala masih berusia muda. Karena membaca riwayat hidup para fisikawan tersebut, sejak masih SD, Prof. Nelson sudah memiliki cita-cita ingin menjadi profesor di universitas di Amerika Serikat.
Walaupun saat ini tinggal di Amerika Serikat dan masih memakai passport Indonesia, Prof. Nelson berjanji kembali ke Indonesia kalau Pemerintah Indonesia sungguh membutuhkannya.
Dia sering diundang menjadi pembicara utama dan penceramah di aneka macam seminar. Paling sering utamanya menjadi pembicara dalam pertemuan-pertemuan intelektual, pertemuan, dan pelatihan di Washington DC. Selain itu, beliau sering datang ke aneka macam kota lain di AS. Bahkan, ia sering pergi ke luar negeri mirip Kanada, sejumlah negara di Eropa, dan Asia. Yang menakjubkan, sudah ada tiga penemuan ilmiahnya yang dipatenkan di AS, ialah bidang semiconductor nanostructure optoelectronics devices dan high power semiconductor lasers. Di tengah kesibukannya melaksanakan riset-riset yang lain, dua buku Nelson sedang dalam proses penerbitan. Bukan main!! Kedua buku tersebut ialah buku teks (buku wajib pegangan, Red) bagi mahasiswa S-1 di Negeri Paman Sam.
Karena itu, Indonesia patut besar hati atas prestasi anak bangsa di negeri rantau tersebut. Lajang kelahiran Medan, 20 Oktober 1977, itu hingga sekarang masih memegang paspor hijau berlambang garuda. Kendati belum satu dekade di AS, prestasinya telah segudang. Ke mana pun dirinya pergi, setiap ditanya orang, Nelson senantiasa mengenalkan diri selaku orang Indonesia. Sikap Nelson itu sungguh membanggakan di tengah banyak tokoh kita yang malu mengakui Indonesia sebagai tanah kelahirannya.
“Saya sungguh cinta tanah kelahiran aku. Dan, aku senantiasa ingin melaksanakan yang terbaik untuk Indonesia,” katanya, serius.
Di Negeri Paman Sam, kecintaan Nelson terhadap negerinya yang dicap sebagai terkorup di Asia tersebut dikonkretkan dengan menawarkan ketabahan serta prestasi kerjanya sebagai anak bangsa. Saat berbicara soal Indonesia, mimic perjaka itu terlihat benar-benar dan jauh dari basa-basi.
“Bangsa Indonesia yakni bangsa yang besar dan merupakan bangsa yang
bisa bersaing dengan bangsa-bangsa besar lainnya. Tentu saja bila bangsa kita terus bersusah payah,” kata Nelson menjawab koran ini.
Anak muda itu memang enak diajak berbincang-bincang. Idealismenya berkobar-kobar dan penuh semangat. Layaknya profesor Amerika, sosok Nelson sungguh bersahaja dan bahkan suka merendah. Busana kesehariannya juga tak ajaib-ajaib, yakni mengenakan kemeja berkerah dan pantalon.
Nano Technology
Sekilas, dia terkesan pendiam. Pengetahuan dan bobotnya sering tersembunyi di balik penampilannya yang mirip tak suka bicara. Tapi, saat dia mengajar atau mengatakan di konferensi para intelektual, jati diri akademisi Nelson tampak. Lingkungan akademisi, riset, dan kampus memang menjadi dunianya. Dia senantiasa peduli pada kepentingan serta dahaga pengetahuan para mahasiswanya di kampus. Ada yang menarik di sini. Karena tampangnya yang sungguh belia, tak sedikit manusia kampus yang menganggapnya selaku mahasiswa S-1 atau program master. Dia dikira sebagai mahasiswa lazimnya . Namun, bagi yang mengenalnya, terutama kelompok universitas atau jurusannya mengajar, begitu bertemu dirinya, mereka selalu menyapanya hormat: Prof Tansu.
“Di semester Fall 2003, aku mengajar kelas untuk tingkat PhD tentang physics and applications of photonics crystals. Di semester Spring 2004, sekarang, aku mengajar kelas untuk mahasiswa senior dan master wacana semiconductor device physics. Begitulah,” ungkap Nelson menjawab soal aktivitas mengajarnya. September hingga Desember atau semester Fall 2004, acara mengajar Nelson sudah menanti lagi. Selama semester itu, dia akan mengajar kelas untuk tingkat PhD tentang applied quantum mechanics for semiconductor nanotechnology.
“Selain mengajar kelas-kelas di universitas, aku membimbing beberapa mahasiswa PhD dan post-doctoral research fellow di Lehigh University ini,” jelasnya ketika ditanya perihal aktivitas lainnya di kampus.
Nelson termasuk individu yang sukses menggapai mimpi Amerika (American dream). Banyak imigran dan perantau yang mengadu nasib di negeri itu dengan segala persaingannya yang superketat. Di Negeri Paman Sam tersebut,ada kisah sukses mirip bintang film yang kini menjadi Gubernur California Arnold Schwarzenegger yang sesungguhnya yaitu imigran asal Austria. Kemudian, dalam Kabinet George Walker Bush kini juga ada imigrannya, adalah Menteri Tenaga Kerja Elaine L. Chao. Imigran asal Taipei tersebut ialah wanita pertama Asian-American yang menjadi menteri selama sejarah AS.
Negara Superpower tersebut juga sangat bagus menempa bakat serta intelektual Nelson. Lulusan Sekolah Menengan Atas Sutomo 1 Medan itu datang di AS pada Juli 1995. Di sana, beliau menamatkan seluruh pendidikannya mulai S-1 hingga S-3 di University of Wisconsin di Madison. Nelson menyelesaikan pendidikan S-1 di bidang applied mathematics, electrical engineering, and physics. Sedangkan untuk PhD, beliau mengambil bidang electrical engineering. Dari seluruh perjalanan hidup dan karirnya, Nelson mengaku bahwa semua suksesnya itu tak lepas dari tunjangan keluarganya. Saat ditanya perihal siapa yang paling kuat, dia cepat menyebut kedua orang tuanya dan kakeknya. “Mereka menanamkan mengenai pentingnya pendidikan sejak aku masih kecil sekali,” ujarnya.
Ada cerita menarik di situ. Ketika masih sekolah dasar, kedua orang tuanya sering membanding-bandingkan Nelson dengan beberapa sepupunya yang telah doktor. Perbandingan tersebut sebenarnya kurang pas. Sebab, para sepupu Nelson itu jauh di atas usianya. Ada yang 20 tahun lebih tua. Tapi, Nelson kecil menganggapnya serius dan bertekad keras mengimbangi sekaligus melampauinya. Waktu akibatnya menjawab imipian Nelson tersebut.
“Kaprikornus, terima kasih buat kedua orang tua aku. Saya memang orang yang suka dengan banyak tantangan. Kita jadi terpacu, gitu,” ujarnya.
Nelson mengaku, mendiang kakeknya dahulu juga ikut mengakibatkan semangat serta disiplin belajarnya. “Almarhum kakek aku itu orang yang sangat baik, namun agak keras. Tetapi, alasannya adalah kerasnya, saya malah menjadi lebih tekun dan berusaha sesempurna mungkin meraih patokan tertinggi dalam melaksanakan sesuatu,” jelasnya.
Sisihkan 300 Doktor AS, namun Tetap Rendah Hati Nelson Tansu menjadi fisikawan ternama di Amerika. Tapi, cuma sedikit yang tahu bahwa profesor belia itu berasal dari Indonesia. Di sejumlah kesempatan, banyak yang menganggap Nelson ada kekerabatan famili dengan mantan
PM Turki Tansu Ciller. Benarkah?
NAMA Nelson Tansu memang cukup unik. Sekilas, sama sekali nama itu tidak mengindikasikan identitas etnis, ras, atau asal negeri tertentu. Karena itu, di Negeri Paman Sam, banyak yang keliru membaca, mengenali, atau berkenalan dengan profesor belia tersebut.
Malah ada yang mengira bahwa ia yakni orang Turki. Dugaan itu muncul jikalau dikaitkan dengan kekerabatan famili Tansu Ciller, mantan perdana menteri (PM) Turki. Beberapa netters malah tidak segan-segan mencantumkan nama dan kiprah Nelson ke dalam website Turki. Seolah-olah mereka percaya betul bahwa fisikawan belia yang mulai berkibar di lingkaran akademisi AS itu memang berasal dari negerinya Kemal Ataturk.
Ada pula yang menduga bahwa Nelson yakni orang Asia Timur, tepatnya Jepang atau Tiongkok. Yang lebih seru, beberapa universitas di Jepang malah terperinci-terangan melamar Nelson dan meminta beliau “kembali” mengajar di Jepang. Seakan-akan Nelson memang orang sana dan pernah mengajar di Negeri Sakura itu.
Dilihat dari nama, masuk akal bila kekeliruan itu terjadi. Begitu juga paras Nelson yang mirip orang Jepang. Lebih-lebih di Amerika banyak professor yang keturunan atau berasal dari Asia Timur dan jarang-jarang memang asal Indonesia. Nelson pun cuma senyum-senyum atas segala kekeliruan kepada dirinya.
“Biasanya aku langsung mengoreksi. Saya jelaskan ke mereka bahwa aku orisinil Indonesia. Mereka memang agak terkejut sih alasannya adalah memang mungkin jarang ada profesor asal aslinya dari Indonesia,”jelas Nelson.
Tansu sendiri bahwasanya bukan marga kelompok Tionghoa. Memang, nenek moyang Nelson dahulu Hokkien, dan marganya adalah Tan. Tapi, dikala lahir, Nelson telah diberi nama belakang “Tansu”, sebagaimana ayahnya, Iskandar Tansu.
“Saya suka dengan nama Tansu, kok,”kata Nelson dengan nada bangga.
Nelson ialah cowok mampu berdiri diatas kaki sendiri. Semangatnya tinggi, rajin, visioner, dan senantiasa mematok tolok ukur tertinggi dalam peran riset dan dunia akademisinya. Orang tua Nelson hanya membiayai hingga tingkat S-1. Selebihnya? Berkat keringat dan prestasi Nelson sendiri. Kuliah tingkat doktor hingga segala keperluan kuliah dan kehidupannya ditanggung melalui beasiswa universitas.
“Beasiswa yang saya peroleh sudah lebih dari cukup untuk membiayai semua kuliah dan keperluan di universitas,” katanya.
Orang seperti Nelson dengan prestasi akademik tertinggi memang tak sulit memenangi banyak sekali beasiswa. Jika dijumlah-hitung, lusinan penghargaan dan anugerah beasiswa yang pernah beliau raih selama ini di AS.
Menjadi profesor di Negeri Paman Sam memang telah menjadi harapan ia sejak usang. Walau demikian, posisi assistant professor (profesor muda, Red) tak pernah terbayangkannya mampu diraih pada usia 25 tahun. Coba bandingkan dengan lingkungan keluarga atau penduduk di Indonesia, biasanya apa yang didapat cowok 25 tahun?
Bahkan, di AS yang negeri supermaju pun reputasi Nelson bukan fenomena lazim. Bayangkan, pada usia semuda itu, beliau menyandang status guru besar. Sehari-hari ia mengajar program master, doktor, dan bahkan post doctoral. Yang prestisius bagi seorang ilmuwan, ada tiga riset Nelson yang dipatenkan di AS. Kemudian, dua buku teksnya untuk mahasiswa S-1 dalam proses penerbitan.
Tapi, bukan Nelson Tansu namanya jika tidak santun dan merendah. Cita-citanya mulia sekali. Dia akan tetap melaksanakan riset-riset yang alhasil bermanfaat buat kemanusian dan dunia. Sebagai profesor di AS, ia mirip meniti jalan suci mewujudkan idealisme tersebut.
Ketika mendengar pengakuan cita-cita sejatinya, semua orang niscaya akan terperanjat. Cukup fenomenal. “Sejak Sekolah Dasar kelas 3 atau kelas 4 di Medan, saya senantiasa ingin menjadi profesor di universitas di Amerika Serikat. Ini benar-benar saya cita-citakan sejak kecil,” ungkapnya dengan mimic serius.
Tapi, orang bakal mahfum jikalau melihat sejarah hidupnya. Ketika usia SD, Nelson kecil gemar membaca biografi para ilmuwan-fisikawan AS dan Eropa. Selain Albert Einstein yang menjadi pujaannya, nama-nama besar seperti Werner Heisenberg, Richard Feynman, dan Murray Gell-Mann ternyata Sudah diakrabi Nelson cilik.
“Mereka hebat. Dari bacaan tersebut, saya sungguh-sungguh terkejut, tergugah dengan prestasi para fisikawan hebat itu. Ada yang usianya muda sekali ketika meraih PhD, jadi profesor, dan ada pula yang sukses menemukan teori yang luar biasa. Mereka masih muda dikala itu,” terperinci Nelson sarat kagum.
Nelson jadi profesor muda di Lehigh University sejak awal 2003. Untuk bidang teknik dan fisika, universitas itu termasuk unggulan dan papan atas di daerah East Coast, Negeri Paman Sam. Untuk menjadi profesor di Lehigh, Nelson terlebih dulu menyisakan 300 doktor yang resume (CV)-nya juga hebat-mahir. www.biografiku.com