TintaTeras

Biografi Putera Sampoerna – Pemilik Pt Sampoerna

Biodata,  Biografi,  Biografi Pengusaha Sukses,  Biografi Tokoh Indonesia,  Feed,  Profil,  Profil dan Biografi Tokoh Nasional Indonesia,  Sejarah,  Wirausahawan

Putera Sampoerna, mengguncang dunia bisnis Indonesia dengan menjual seluruh saham keluarganya di PT HM Sampoerna senilai Rp18,5 triliun, pada ketika kinerjanya baik. Generasi ketiga keluarga Sampoerna yang belakangan bertindak sebagai CEO Sampoerna Strategic, ini memang seorang pebisnis visioner yang bisa menjangkau pasar era depan. Berbagai langkahnya sering kali tidak terjangkau pengusaha lain sebelumnya. Dia bisa membuat sensasi (tapi terukur)dalam dunia bisnis. Sehingga pantas saja Warta Ekonomi menobatkan putra Liem Swie Ling (Aga Sampoerna) ini selaku salah seorang Tokoh Bisnis Paling Berpengaruh 2005. Sebelumnya, majalah Forbes menempatkannya dalam peringkat ke-13 Southeast Asia’s 40 Richest 2004.

Putera Sampoerna, pebisnis Indonesia kelahiran Schidam, Belanda, 13 Oktober 1947. Dia generasi ketiga dari keluarga Sampoerna di Indonesia. Adalah kakeknya Liem Seeng Tee yang mendirikan perusahaan rokok Sampoerna. Putera ialah presiden administrator ketiga perusahaan rokok PT. HM Sampoerna itu. Dia menggantikan ayahnya Aga Sampoerna.

Kemudian, pada tahun 2000, Putera mengestafetkan kepemimpinan operasional perusahaan (presiden administrator) kepada anaknya, Michael Sampoerna. Dia sendiri duduk selaku Presiden Komisaris PT HM Sampoerna Tbk, hingga saham keluarga Sampoerna (40%) di perusahaan yang sudah go public itu dijual terhadap Philip Morris International, Maret 2005, senilai Rp18,5 triliun.

Pria penggemar angka sembilan, lulusan Diocesan Boys School, Hong Kong, dan Carey Grammar High School, Melbourne, serta University of Houston, Texas, AS, itu sebelum memimpin PT HM Sampoerna, lebih dulu berkiprah di sebuah perusahaan yang mengorganisir perkebunan kelapa sawit milik usahawan Malaysia. Kala itu, ia berdomisili di Singapura bareng isteri tercintanya, Katie, keturunan Tionghoa warga Amerika Serikat.

Dia mulai bergabung dalam operasional PT. HM Sampoerna pada 1980. Enam tahun lalu, tepatnya 1986, Putera dinobatkan menduduki tampuk kepemimpinan operasional PT HAM Sampoerna selaku CEO (chief executive officer) menggantikani ayahnya, Aga Sampoerna.

Namun ruh kepemimpinan masih saja menempel pada ayahnya. Baru sesudah ayahnya meninggal pada 1994, Putera sungguh-sungguh mengaktualisasikan kapasitas kepemimpinan dan naluri bisnisnya secara penuh. Dia pun merekrut profesional dalam negeri dan luar negeri untuk mendampinginya berbagi dan menggenjot kinerja perusahaan.

Sungguh, perusahaan keluarga ini dikontrol secara profesional dengan pertolongan manajer profesional. Perusahaan ini juga go public, sahamnya menjadi unggulan di bursa efek Jakarta dan Surabaya. Ibarat sebuah kapal yang berlayar di samudera luas berombak besar, PT HM Sampoerna sukses mengarunginya dengan berbagai kiat dan inovasi inovatif.

Tidak cuma gemilang dalam melaksanakan penemuan produk inti bisnisnya, yakni rokok, namun juga sukses mengespansi peluang bisnis di segmen usaha lain, di antaranya dalam bidang supermarket dengan mengakuisi Alfa dan sempat mendirikan Bank Sampoerna simpulan 1980-an.

Di bisnis rokok, HM Sampoerna yaitu pencetus produk mild di tanah air, ialah rokok rendah tar dan nikotin. Pada 1990-an, itu Putera Sampoerna dengan inovatif mengenalkan produk rokok terbaru: A Mild. Kala itu, Putera meluncurkan A Mild sebagai rokok rendah nikotin dan “taste to the future”, di tengah ramainya pasar rokok kretek. Kemudian perusahaan rokok lain mengikutinya.

Dia memang seorang pebisnis visioner yang bisa meraih pasar era depan. Berbagai langkahnya kadang kala tidak terjangkau usahawan lain sebelumnya. Dia mampu membuat sensasi (tetapi terukur)dalam dunia bisnis. Langkahnya yang paling sensasional sepanjang sejarah semenjak HM Sampoerna berdiri 1913 yaitu keputusannya memasarkan seluruh saham keluarga Sampoerna di PT HM Sampoerna Tbk (40%) ke Philip Morris International, Maret 2005.

Keputusan itu sangat mengejutkan pelaku bisnis lainya. Sebab, kinerja HM Sampoerna kurun itu (2004) dalam posisi sangat baik dengan sukses mendapatkan pendapatan higienis Rp15 triliun dengan nilai buatan 41,2 miliar batang. Dalam posisi ketiga perusahaan rokok yang menguasai pasar, ialah menguasai 19,4% pangsa pasar rokok di Indonesia, sesudah Gudang Garam dan Djarum.

Mengapa Putera melepas perusahaan keluarga yang sudah berumur lebih dari 90 tahun ini? Itu pertanyaan yang timbul di tengah pelaku bisnis dan publik abad itu.

Belakangan publik mengetahui visi Tokoh Bisnis Paling Berpengaruh 2005 model Majalah Warta Ekonomi ini ((Warta Ekonomi 28 Desember 2005). Dia menyaksikan era depan industri rokok di Indonesia akan semakin susah berkembang. Dia pun ingin menjemput pasar masa depan yang hanya mampu diraihnya dengan langkah kriatif dan revolusioner dalam bisnisnya. Secara revolusioner dia mengganti bisnis pada dasarnya dari bisnis rokok ke agroindustri dan infrastruktur.

Hal ini terungkap dari langkah-langkahnya sesudah enam bulan melepas saham di PT HM Sampoerna. Juga terungkap dari ucapan Angky Camaro, orang doktrin Putera: “Arahnya memang ke infrastruktur dan agroindustri.”

Terakhir, di bawah bendera PT Sampoerna Strategic beliau sempat bermaksud mengakuisisi PT Kiani Kertas, tetapi untuk sementara dia menolak melanjutkan negosiasi transaksi lantaran kriteria yang diajukan Bank Mandiri dinilai tak seimbang. Dia pun dikabarkan akan memasuki bisnis jalan tol, jika faktor birokrasi dan keadaan sosial politik kondusif. TintaTeras.com

————————————————————————————————————

Biografi Dr. Cipto Mangunkusumo

Biodata,  Biografi,  Biografi Tokoh Dunia,  Biografi Tokoh Indonesia,  Biografi Tokoh Islam,  Feed,  Pahlawan Nasional,  Profil,  Profil dan Biografi Tokoh Nasional Indonesia,  Sejarah

Nama tokoh ini sangat terkenal di Indonesia sebagai salah satu hero yang mempunyai andil penting dalam kebangkitan Indonesia dikala era kolonial. Cipto Mangunkusumo dilahirkan pada 4 Maret 1886 di desa Pecagakan Jepara. Ia yakni putera tertua dari Mangunkusumo, seorang bangsawan rendahan dalam struktur penduduk Jawa. Karir Mangunkusumo diawali sebagai guru bahasa Melayu di sebuah sekolah dasar di Ambarawa, lalu menjadi kepala sekolah pada sebuah sekolah dasar di Semarang dan berikutnya menjadi pembantu manajemen pada Dewan Kota di Semarang. Sementara, sang ibu adalah keturunan dari tuan tanah di Mayong, Jepara.

Meskipun keluarganya tidak termasuk golongan bangsawan birokratis yang tinggi kedudukan sosialnya, Mangunkusumo sukses menyekolahkan anak-anaknya pada jenjang yang tinggi. Cipto beserta adik-adiknya yakni Gunawan, Budiardjo, dan Syamsul Ma’bakir bersekolah di Stovia, sementara Darmawan, adiknya bahkan sukses menemukan beasiswa dari pemeintah Belanda untuk mempelajari ilmu kimia industri di Universitas Delf, Belanda. Si bungsu, Sujitno terdaftar sebagai mahasiswa Sekolah Tinggi Hukum di Jakarta.

Ketika menempuh pendidikan di Stovia, Cipto mulai memperlihatkan perilaku yang berlawanan dari sahabat-temannya. Teman-sobat dan guru-gurunya menilai Cipto selaku pribadi yang jujur, berpikiran tajam dan tekun. “Een begaald leerling”, atau murid yang berbakat yaitu julukan yang diberikan oleh gurunya kepada Cipto. Di Stovia Cipto juga mengalami perpecahan antara dirinya dan lingkungan sekolahnya. Berbeda dengan teman-temannya yang suka pesta dan bermain bola sodok, Cipto lebih senang menghadiri ceramah-ceramah, baca buku dan bermain catur. Penampilannya pada acara khusus, tergolong eksentrik, dia senantiasa memakai surjan dengan materi lurik dan merokok kemenyan. Ketidakpuasan kepada lingkungan sekelilingnya, senantiasan menjadi topik pidatonya. Baginya, Stovia adalah kawasan untuk mendapatkan dirinya, dalam hal keleluasaan berpikir, lepas dari tradisi keluarga yang berpengaruh, dan berkenalan dengan lingkungan gres yang diskriminatif.

Beberapa Peraturan-peraturan di Stovia menyebabkan ketidak puasan pada dirnya, seperti semua mahasiswa Jawa dan Sumatra yang bukan Katolik diharuskan memakai busana tadisional jika sedang berada di sekolah. Bagi Cipto, peraturan berpakaian di Stovia merupakan perwujudan politik kolonial yang angkuh dan melestarikan feodalisme. Pakaian Barat cuma boleh dipakai dalam hirarki administrasi kolonial, ialah oleh pribumi yang berpangkat bupati. Masyarakat pribumi dari wedana ke bawah dan yang tidak melakukan pekerjaan pada pemerintahan, dihentikan menggunakan pakaian Barat. Implikasi dari kebiasaan ini, rakyat condong untuk tidak menghargai dan menghormati penduduk pribumi yang menggunakan pakaian tradisional.

Keadaan ini selalu digambarkannya melalui De Locomotief, pers kolonial yang sangat progresif pada waktu itu, di samping Bataviaasch Nieuwsblad. Sejak tahun 1907 Cipto telah menulis di harian De Locomotief. Tulisannya berisi kritikan, dan menentang keadaan kondisi masyarakat yang dianggapnya tidak sehat. Cipto sering mengkritik relasi feodal maupun kolonial yang dianggapnya sebagai sumber penderitaan rakyat. Dalam tata cara feodal terjadi kepincangan-kepincangan dalam masyarakat. Rakyat biasanya terbatas ruang gerak dan aktivitasnya, alasannya adalah banyak kesempatan yang tertutup bagi mereka. Keturunanlah yang menentukan nasib seseorang, bukan kemampuan atau kesanggupan. Seorang anak “biasa” akan tetap tinggal terbelakang dari anak bupati atau kaum ningrat lainnya.

Kondisi kolonial lainnya yang ditentang oleh Cipto ialah diskriminasi ras. Sebagai teladan, orang Eropa menerima honor yang lebih tinggi dari orang pribumi untuk suatu pekerjaan yang serupa. Diskriminasi menenteng perbedaan dalam banyak sekali bidang contohnya, peradilan, perbedaan pajak, keharusan kerja rodi dan kerja desa. Dalam bidang pemerintahan, politik, ekonomi dan sosial, bangsa Indonesia menghadapi garis batas warna. Tidak semua jabatan negeri terbuka bagi bangsa Indonesia. Demikian juga dalam jual beli, bangsa Indonesia tidak mendapat peluang berjualan secara besar-besaran, tidak sembarang anak Indonesia mampu bersekolah di sekolah Eropa, tidak ada orang Indonesia yang berani masuk kamar bola dan sociteit. Semua diukur menurut warna kulit.

Tulisan-tulisannya di harian De Locomotief, menjadikan Cipto sering menerima teguran dan perayaan dari pemerintah. Untuk menjaga keleluasaan dalam berpendapat Cipto lalu keluar dari dinas pemerintah dengan konsekuensi mengembalikan sejumlah duit ikatan dinasnya yang tidak sedikit.

Selain dalam bentuk goresan pena, Cipto juga sering melancarkan protes dengan bertingkah melawan arus. Misalnya larangan memasuki sociteit bagi bangsa Indonesia tidak diindahkannya. Dengan pakaian khas adalah kain batik dan jas lurik, dia masuk ke sebuah sociteit yang sarat dengan orang-orang Eropa. Cipto kemudian duduk dengan kaki dijulurkan, hal itu mengundang kegaduhan di sociteit. Ketika seorang opas (penjaga) mencoba mengusir Cipto untuk keluar dari gedung, dengan lantangnya Cipto menghujat-maki sang opas serta orang-orang berada di dekatnya dengan memanfaatkan bahasa Belanda. Kewibawaan Cipto dan penggunaan bahasa Belandanya yang fasih menciptakan orang-orang Eropa terperangah.

Terbentuknya Budi Utomo pada 20 Mei 1908 disambut baik Cipto selaku bentuk kesadaran pribumi akan dirinya. Pada kongres pertama Budi Utomo di Yogyakarta, jatidiri politik Cipto kian nampak. Walaupun kongres diadakan untuk memajukan perkembangan yang serasi bagi orang Jawa, tetapi pada kenyataannya terjadi keretakan antara kaum konservatif dan kaum progesif yang diwakili oleh kalangan muda. Keretakan ini sungguh ironis memulai sebuah perpecahan ideology yang terbuka bagi orang Jawa.

Dalam kongres yang pertama terjadi perpecahan antara Cipto dan Radjiman. Cipto menghendaki Budi Utomo sebagai organisasi politik yang harus bergerak secara demokratis dan terbuka bagi semua rakyat Indonesia. Organisasi ini harus menjadi pimpinan bagi rakyat dan jangan mencari hubungan dengan atasan, bupati dan pegawai tinggi lainnya. Sedangkan Radjiman ingin menjadikan Budi Utomo selaku suatu gerakan kebudayaan yang bersifat Jawa.

Cipto tidak menolak kebudayaan Jawa, tetapi yang ia tolak ialah kebudayaan keraton yang feodalis. Cipto mengemukakan bahwa sebelum duduk perkara kebudayaan mampu dipecahan, apalagi dulu terselesaikan masalah politik. Pernyataan-pernyataan Cipto bagi jamannya dianggap radikal. Gagasan-ide Cipto menunjukkan rasionalitasnya yang tinggi, serta analisis yang tajam dengan jangkauan era depan, belum mendapat jawaban luas. Untuk membuka jalan bagi timbulnya persatuan di antara seluruh rakyat di Hindia Belanda yang mempunyai nasib sama di bawah kekuasaan abnormal, beliau tidak dapat diraih dengan mengusulkan kebangkitan kehidupan Jawa. Sumber keterbelakangan rakyat adalah penjajahan dan feodalisme.

Meskipun diangkat sebagai pengurus Budi Utomo, Cipto balasannya mengundurkan diri dari Budi Utomo yang dianggap tidak mewakili aspirasinya. Sepeninggal Cipto tidak ada lagi perdebatan dalam Budi Utomo akan tetapi Budi Utomo kehilangan kekuatan progesifnya.

Setelah mengundurkan diri dari Budi Utomo, Cipto membuka praktek dokter di Solo. Meskipun demikian, Cipto tidak meninggalkan dunia politik sama sekali. Di sela-sela kesibukkannya melayani pasiennya, Cipto mendirikan Raden Ajeng Kartini Klub yang bertujuan memperbaiki nasib rakyat. Perhatiannya pada politik makin menjadi-jadi setelah dia berjumpa dengan Douwes Dekker yang tengah berpropaganda untuk mendirikan Indische Partij. Cipto menyaksikan Douwes Dekker selaku mitra seperjuangan. Kerjasama dengan Douwes Dekker telah memberinya peluang untuk melakukan cita-citanya, ialah gerakan politik bagi seluruh rakyat Hindia Belanda. Bagi Cipto Indische Partij ialah upaya mulia mewakili kepentngan-kepentingan semua penduduk Hindia Belanda, tidak menatap suku, kelompok, dan agama.

Pada tahun 1912 Cipto pindah dari Solo ke Bandung, dengan dalih supaya akrab dengan Douwes Dekker. Ia lalu menjadi anggota redaksi penerbitan harian de Expres dan majalah het Tijdschrijft. Perkenalan antara Cipto dan Douwes Dekker yang sehaluan itu bantu-membantu sudah dijalin dikala Douwes Dekker melakukan pekerjaan pada Bataviaasch Nieuwsblad. Douwes Dekker sering berafiliasi dengan murid-murid Stovia.

Pada Nopember 1913, Belanda memperingati 100 tahun kemerdekaannya dari Perancis. Peringatan tersebut dirayakan secara besar-besaran, juga di Hindia Belanda. Perayaan tersebut menurut Cipto selaku suatu penghinaan kepada rakyat bumi putera yang sedang dijajah. Cipto dan Suwardi Suryaningrat kemudian mendirikan suatu komite perayaan seratus tahun kemerdekaan Belanda dengan nama Komite Bumi Putra. Dalam komite tersebut Cipto diandalkan untuk menjadi ketuanya. Komite tersebut menyiapkan akan mengumpulkan uang untuk mengirim telegram terhadap Ratu Wihelmina, yang isinya meminta semoga pasal pembatasan kegiatan politik dan membentuk parlemen dicabut. Komite Bumi Putra juga menciptakan selebaran yang bertujuan menyadarkan rakyat bahwa upacara peringatan kemerdekaan Belanda dengan mengerahkan duit dan tenaga rakyat ialah suatu penghinaan bagi bumi putera.

Aksi Komite Bumi Putera meraih puncaknya pada 19 Juli 1913, dikala harian De Express menerbitkan sebuah postingan Suwardi Suryaningrat yang berjudul “Als Ik Nederlands Was” (Andaikan Saya Seorang Belanda). Pada hari berikutnya dalam harian De Express Cipto menulis postingan yang mendukung Suwardi untuk memboikot perayaan kemerdekaan Belanda. Tulisan Cipto dan Suwardi sangat memukul Pemerintah Hindia Belanda, pada 30 Juli 1913 Cipto dan Suwardi dipenjarakan, pada 18 Agustus 1913 keluar surat keputusan untuk membuang Cipto bareng Suwardi Suryaningrat dan Douwes Dekker ke Belanda alasannya kegiatan propaganda anti Belanda dalam Komite Bumi Putera.

Selama masa pembuangan di Belanda, bersama Suwardi dan Douwes Dekker, Cipto tetap melancarkan aksi politiknya dengan melakukan propaganda politik menurut ideologi Indische Partij. Mereka mempublikasikan majalah De Indier yang berusaha menyadarkan masyarakat Belanda dan Indonesia yang berada di Belanda akan suasana di tanah jajahan. Majalah De Indier menerbitkan artikel yang menyerang budi Pemerintah Hindia Belanda.

Kehadiran tiga pemimpin tersebut di Belanda ternyata telah menjinjing dampak yang cukup bermakna kepada organisasi mahasiswa Indonesia di Belanda. Indische Vereeniging, pada awalnya adalah perkumpulan sosial mahasiswa Indonesia, sebagai tempat saling memberi berita tentang tanah airnya. Akan tetapi, kedatangan Cipto, Suwardi dan Douwes Dekker berpengaruh pada konsep-desain gres dalam gerakan organisasi ini. Konsep “Hindia bebas dari Belanda dan pembentukan sebuah negara Hindia yang diperintah rakyatnya sendiri mulai dicanangkan oleh Indische Vereeniging. Pengaruh mereka semakin terasa dengan diterbitkannya jurnal Indische Vereeniging yakni Hindia Poetra pada 1916.

Oleh sebab argumentasi kesehatan, pada tahun 1914 Cipto diperbolehkan pulang kembali ke Jawa dan sejak saat itu ia bergabung dengan Insulinde, sebuah asosiasi yang menggantikan Indische Partij. Sejak itu, Cipto menjadi anggota pengurus pusat Insulinde untuk sementara waktu dan melancarkan propaganda untuk Insulinde, terutama di daerah pesisir utara pulau Jawa. Selain itu, propaganda Cipto untuk kepentingan Insulinde dilakukan pula lewat majalah Indsulinde yaitu Goentoer Bergerak, lalu surat kabar berbahasa Belanda De Beweging, surat kabar Madjapahit, dan surat kabar Pahlawan. Akibat propaganda Cipto, jumlah anggota Insulinde pada tahun 1915 yang semula berjumlah 1.009 meningkat menjadi 6.000 orang pada tahun 1917. Jumlah anggota Insulinde meraih puncaknya pada Oktober 1919 yang mencapai 40.000 orang. Insulinde di bawah imbas berpengaruh Cipto menjadi partai yang radikal di Hindia Belanda. Pada 9 Juni 1919 Insulinde mengubah nama menjadi Nationaal-Indische Partij (NIP).

Pada tahun 1918 Pemerintah Hindia Belanda membentuk Volksraad (Dewan Rakyat). Pengangkatan anggota Volksraad dilakukan dengan dua cara. Pertama, kandidat-calon yang dipilih melalui dewan perwakilan kota, kabupaten dan propinsi. Sedangkan cara yang kedua melalui pengangkatan yang dikerjakan oleh Pemerintah Hindia Belanda. Gubernur jenderal Van Limburg Stirum mengangkat beberapa tokoh radikal dengan maksud biar Volksraad dapat menampung banyak sekali pemikiran sehingga sifat demokratisnya mampu ditonjolkan. Salah seorang tokoh radikal yang diangkat oleh Limburg Stirum yaitu Cipto.

Bagi Cipto pembentukan Volksraad merupakan suatu pertumbuhan yang memiliki arti, Cipto mempergunakan Volksraad selaku tempat untuk menyatakan pemikiran dan kritik terhadap pemerintah perihal masalah sosial dan politik. Meskipun Volksraad dianggap Cipto selaku sebuah pertumbuhan dalam tata cara politik, tetapi Cipto tetap menyatakan kritiknya terhadap Volksraad yang dianggapnya sebagai lembaga untuk mempertahankan kekuasaan penjajah dengan kedok demokrasi.

Pada 25 Nopember 1919 Cipto berpidato di Volksraad, yang isinya mengemukakan dilema perihal persekongkolan Sunan dan residen dalam membohongi rakyat. Cipto menyatakan bahwa santunan 12 gulden dari sunan ternyata harus dibayar rakyat dengan bekerja sedemikian usang di perkebunan yang bila dikonversi dalam duit ternyata menjadi 28 gulden.

Melihat kenyataan itu, Pemerintah Hindia Belanda menilai Cipto sebagai orang yang sungguh berbahaya, sehingga Dewan Hindia (Raad van Nederlandsch Indie) pada 15 Oktober 1920 memberi masukan terhadap Gubernur Jenderal untuk menghalau Cipto ke tempat yang tidak berbahasa Jawa. Akan namun, pada kenyataannya pembuangan Cipto ke tempat Jawa, Madura, Aceh, Palembang, Jambi, dan Kalimantan Timur masih tetap membahayakan pemerintah. Oleh alasannya itu, Dewan Hindia berdasarkan surat kepada Gubernur Jenderal merekomendasikan pengusiran Cipto ke Kepulauan Timor. Pada tahun itu juga Cipto dibuang dari tempat yang berbahasa Jawa namun masih di pulau Jawa, ialah ke Bandung dan dihentikan keluar kota Bandung. Selama tinggal di Bandung, Cipto kembali membuka praktek dokter. Selama tiga tahun Cipto mengabdikan ilmu kedokterannya di Bandung, dengan sepedanya ia masuk keluar kampung untuk mengobati pasien.

Di Bandung, Cipto dapat bertemu dengan kaum nasionalis yang lebih muda, mirip Sukarno yang pada tahun 1923 membentuk Algemeene Studie Club. Pada tahun 1927 Algemeene Studie Club diubah menjadi Partai Nasional Indonesia (PNI). Meskipun Cipto tidak menjadi anggota resmi dalam Algemeene Studie Club dan PNI, Cipto tetap diakui selaku penyumbang anutan bagi generasi muda. Misalnya Sukarno dalam sebuah wawancara pers pada 1959, saat ditanya siapa di antara tokoh-tokoh pemimpin Indonesia yang paling banyak menunjukkan efek kepada ajaran politiknya, tanpa tidak yakin Sukarno menyebut Cipto Mangunkusumo.

Pada tamat tahun 1926 dan tahun 1927 di beberapa daerah di Indo-nesia terjadi pemberontakan komunis. Pemberontakan itu menemui ke-gagalan dan ribuan orang ditangkap atau dibuang karena terlibat di dalamnya. Dalam hal ini Cipto juga ditangkap dan didakwa turut serta dalam perlawanan kepada pemerintah. Hal itu disebabkan suatu peristiwa, saat pada bulan Juli 1927 Cipto kedatangan tamu seorang militer pribumi yang berpangkat kopral dan seorang kawannya. Kepada Cipto tamu tersebut mengatakan rencananya untuk melaksanakan sabotase dengan meledakkan persediaan-persediaan mesiu, namun dia bermaksud mengunjungi keluarganya di Jatinegara, Jakarta, apalagi dulu. Untuk itu dia membutuhkan uang untuk biaya perjalanan. Cipto menasehatkan agar orang itu tidak melakukan langkah-langkah sabotase, dengan argumentasi kemanusiaan Cipto lalu menunjukkan uangnya sebesar 10 gulden kepada tamunya.

Setelah pemberontakan komunis gagal dan dibongkarnya kasus peledakan gudang mesiu di Bandung, Cipto dipanggil pemerintah untuk menghadap pengadilan sebab dianggap sudah memberikan andil dalam menolong anggota komunis dengan memberi duit 10 gulden dan diketemukannya nama-nama kepala pemberontakan dalam daftar tamu Cipto. Sebagai hukumannya Cipto kemudian dibuang ke Banda pada tahun 1928.

Dalam pembuangan, penyakit asmanya kambuh. Beberapa kawan Cipto kemudian merekomendasikan kepada pemerintah semoga Cipto dibebaskan. Ketika Cipto diminta untuk menandatangani sebuah kontrakbahwa dia dapat pulang ke Jawa dengan melepaskan hak politiknya, Cipto secara tegas mengatakan bahwa lebih baik mati di Banda daripada melepaskan hak politiknya. Cipto kemudian dialihkan ke Makasar, dan pada tahun 1940 Cipto dipindahkan ke Sukabumi. Kekerasan hati Cipto untuk berpolitik dibawa sampai meninggal pada 8 Maret 1943.

Referensi :

  • Balfas. 1952. Dr. Tjipto Mangoenkoesoemo: Demokrat Sejati. Jakarta: Pradjaparamita.
  • Kartodirdjo, Sartono. 1990. Pengantar Sejarah Indonesia Baru. Sejarah Pergerakan Nasional dari Kolonialisme sampai Nasionalisme. Jakarta: Gramedia.
  • Nagazumi, Akira. 1989. Bangkitnya Nasionalisme Indonesia: Budi Utomo 1908-1918. Jakarta: Grafitipers.
  • Notosutanto Nugroho.Et al. 1977. Sejarah Nasional Indonesia. Jilid V. Jakarta: balai Pustaka.
  • Mulyono, Slamet. 1968. Nasionalisme Sebagai Modal Perjuangan Bangsa Indonesia. Jilid I. Jakarta: Balai Pustaka.
  • Tashadi. 1984. Dr. D.D. Setiabudhi. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional. Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional

Biografi Taufik Ismail

Biodata,  Biografi,  Biografi Tokoh Dunia,  Biografi Tokoh Indonesia,  Biografi Tokoh Islam,  Feed,  Pahlawan Nasional,  Profil,  Profil dan Biografi Tokoh Nasional Indonesia,  Sejarah,  Seniman

Taufiq Ismail lahir di Bukittinggi, 25 Juni 1935. Masa kanak-kanak sebelum sekolah dilalui di Pekalongan. Ia pertama masuk sekolah rakyat di Solo. Selanjutnya, ia berpindah ke Semarang, Salatiga, dan menamatkan sekolah rakyat di Yogya. Ia masuk Sekolah Menengah Pertama di Bukittinggi, SMA di Bogor, dan kembali ke Pekalongan. Pada tahun 1956–1957 ia mengungguli beasiswa American Field Service Interntional School guna mengikuti Whitefish Bay High School di Milwaukee, Wisconsin, AS, angkatan pertama dari Indonesia Ia melanjutkan pendidikan di Fakultas Kedokteran Hewan dan Peternakan, Universitas Indonesia (kini IPB), dan selesai pada tahun1963.

Pada tahun 1971–1972 dan 1991–1992 beliau mengikuti International Writing Program, University of Iowa, Iowa City, Amerika Serikat. Ia juga berguru pada Faculty of Languange and Literature, American University in Cairo, Mesir, pada tahun 1993. Karena pecah Perang Teluk, Taufiq pulang ke Indonesia sebelum simpulan studi bahasanya.

Semasa mahasiswa Taufiq Ismail aktif dalam berbagai aktivitas. Tercatat, beliau pernah menjadi Ketua Senat Mahasiswa FKHP UI (1960–1961) dan Wakil Ketua Dewan Mahasiswa (1960–1962).

Ia pernah mengajar sebagai guru bahasa di Sekolah Menengan Atas Regina Pacis, Bogor (1963-1965), guru Ilmu Pengantar Peternakan di Pesantren Darul Fallah, Ciampea (1962), dan ajudan dosen Manajemen Peternakan Fakultas Peternakan, Universitas Indonesia Bogor dan IPB (1961-1964). Karena menandatangani Manifes Kebudayaan, yang dinyatakan terlarang oleh Presiden Soekarno, dia batal diantaruntuk studi lanjutan ke Universitas Kentucky dan Florida. Ia lalu dipecat selaku pegawai negeri pada tahun 1964.Taufiq menjadi kolumnis Harian KAMI pada tahun 1966-1970. Kemudian, Taufiq bersama Mochtar Lubis, P.K. Oyong, Zaini, dan Arief Budiman mendirikan Yayasan Indonesia, yang kemudian juga melahirkan majalah sastra Horison (1966). Sampai kini ini dia memimpin majalah itu.

Taufiq ialah salah seorang pendiri Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), Taman Ismail Marzuki (TIM), dan Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta (LPKJ) (1968). Di ketiga forum itu Taufiq mendapat berbagai peran, adalah Sekretaris Pelaksana DKJ, Pj. Direktur TIM, dan Rektor LPKJ (1968–1978). Setelah berhenti dari tugas itu, Taufiq melakukan pekerjaan di perusahaan swasta, sebagai Manajer Hubungan Luar PT Unilever Indonesia (1978-1990).

Pada tahun 1993 Taufiq dipanggil menjadi pengarang tamu di Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur, Malaysia. Sebagai penyair, Taufiq telah membacakan puisinya di banyak sekali kawasan, baik di luar negeri maupun di dalam negeri. Dalam setiap peristiwa yang bersejarah di Indonesia Taufiq senantiasa tampil dengan membacakan puisi-puisinya, seperti jatuhnya Rezim Soeharto, peristiwa Trisakti, dan insiden Pengeboman Bali.

Atas kolaborasi dengan musisi semenjak 1974, khususnya dengan Himpunan Musik Bimbo (Hardjakusumah bersaudara), Chrisye, Ian Antono, dan Ucok Harahap, Taufiq telah menciptakan sebanyak 75 lagu. Ia pernah mewakili Indonesia baca puisi dan ekspo sastra di 24 kota di Asia, Amerika, Australia, Eropa, dan Afrika semenjak 1970. Puisinya sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa, Sunda, Bali, Inggris, Prancis, Jerman, Rusia, dan Cina.

Kegiatan kemasyarakatan yang dilakukannnya, antara lain menjadi pengurus perpustakaan PII, Pekalongan (1954-56), bersama S.N. Ratmana merangkap sekretaris PII Cabang Pekalongan, Ketua Lembaga Kesenian Alam Minangkabau (1984-86), Pendiri Badan Pembina Yayasan Bina Antarbudaya (1985) dan kini menjadi ketuanya, serta melakukan pekerjaan sama dengan tubuh beasiswa American Field Service, AS menyelenggarakan pertukaran pelajar. Pada tahun 1974–1976 dia terpilih selaku anggota Dewan Penyantun Board of Trustees AFS International, New York.

Ia juga membantu LSM Geram (Gerakan Antimadat, pimpinan Sofyan Ali). Dalam kampanye antinarkoba ia menulis puisi dan lirik lagu “Genderang Perang Melawan Narkoba” dan “Himne Anak Muda Keluar dari Neraka” dan digubah Ian Antono). Dalam kegiatan itu, bersama empat tokoh masyarakat lain, Taufiq menerima penghargaan dari Presiden Megawati (2002). Kini Taufiq menjadi anggota Badan Pertimbangan Bahasa, Pusat Bahasa dan konsultan Balai Pustaka, di samping aktif selaku redaktur senior majalah Horison.

Hasil karya:

  • Tirani, Birpen KAMI Pusat (1966)
  • Benteng, Litera ( 1966)
  • Buku Tamu Musium Perjuangan, Dewan Kesenian Jakarta (buklet baca puisi) (1972)
  • Sajak Ladang Jagung, Pustaka Jaya (1974)
  • Kenalkan, Saya Hewan (sajak bawah umur), Aries Lima (1976)
  • Puisi-puisi Langit, Yayasan Ananda (buklet baca puisi) (1990)
  • Tirani dan Benteng, Yayasan Ananda (cetak ulang campuran) (1993)
  • Prahara Budaya (bareng D.S. Moeljanto), Mizan (1995)
  • Ketika Kata Ketika Warna (editor bareng Sutardji Calzoum Bachri, Hamid Jabbar, Amri Yahya, dan Agus Dermawan, antologi puisi 50 penyair dan repoduksi lukisan 50 pelukis, dua bahasa, memperingati ulangtahun ke-50 RI), Yayasan Ananda (1995)
  • Seulawah — Antologi Sastra Aceh (editor bareng L.K. Ara dan Hasyim K.S.), Yayasan Nusantara berafiliasi dengan Pemerintah Daerah Khusus spesial Aceh (1995)
  • Malu (Aku) Makara Orang Indonesia, Yayasan Ananda (199 8)
  • Dari Fansuri ke Handayani (editor bareng Hamid Jabbar, Herry Dim, Agus R. Sarjono, Joni Ariadinata, Jamal D. Rahman, Cecep Syamsul Hari, dan Moh. Wan Anwar, antologi sastra Indonesia dalam acara SBSB 2001), Horison-Kakilangit-Ford Foundation (2001)
  • Horison Sastra Indonesia, empat jilid meliputi Kitab Puisi (1), Kitab Cerita Pendek (2), Kitab Nukilan Novel (3), dan Kitab Drama (4) (editor bareng Hamid Jabbar, Agus R. Sarjono, Joni Ariadinata, Herry Dim, Jamal D. Rahman, Cecep Syamsul Hari, dan Moh. Wan Anwar, antologi sastra Indonesia dalam program SBSB 2000-2001, Horison-Kakilangit-Ford Foundation (2002)

Karya terjemahan:

  1. Banjour Tristesse (terjemahan novel karya Francoise Sagan, 1960)
  2. Cerita tentang Atom (terjemahan karya Mau Freeman, 1962)
  3. Membangun Kembali Pikiran Agama dalam Islam (dari buku The Reconstruction of Religious Thought in Islam, M. Iqbal (bareng Ali Audah dan Goenawan Mohamad), Tintamas (1964)

Anugerah yang diterima:

  • Anugerah Seni dari Pemerintah RI (1970)
  • Cultural Visit Award dari Pemerintah Australia (1977)
  • South East Asia (SEA) Write Award dari Kerajaan Thailand (1994)
  • Penulisan Karya Sastra dari Pusat Bahasa (1994)
  • Sastrawan Nusantara dari Negeri Johor, Malaysia (1999)
  • Doctor honoris causa dari Universitas Negeri Yogyakarta (2003)

Taufiq Ismail menikah dengan Esiyati Yatim pada tahun 1971 dan dikaruniai seorang anak laki-laki, Bram Ismail. Bersama keluarga dia tinggal di Jalan Utan Kayu Raya 66-E, Jakarta 13120.

Biografi W.S Rendra – Penyair Indonesia

Biodata,  Biografi,  Biografi Tokoh Dunia,  Biografi Tokoh Indonesia,  Feed,  Profil,  Profil dan Biografi Tokoh Nasional Indonesia,  Sejarah,  Seniman

Biografi W.S Rendra. Bernama lengkap Willibrordus Surendra Broto Rendra, ia lahir di Solo tanggal 7 November 1935. Beliau yakni penyair ternama yang kerap dijuluki sebagai “Burung Merak”. Ia mendirikan Bengkel Teater di Yogyakarta pada tahun 1967 dan juga Bengkel Teater Rendra di Depok. Semenjak masa kuliah ia sudah aktif menulis cerpen dan esai di aneka macam majalah. Rendra yakni anak dari pasangan R. Cyprianus Sugeng Brotoatmodjo dan Raden Ayu Catharina Ismadillah. Ayahnya yaitu seorang guru Bahasa Indonesia dan Bahasa Jawa pada sekolah Nasrani, Solo, di samping sebagai dramawan tradisional; sedangkan ibunya yaitu penari serimpi di keraton Surakarta.

Masa Kecil WS Rendra

Masa kecil sampai remaja Rendra dihabiskannya di kota kelahirannya itu. Ia memulai pendidikannya dari TK (1942) hingga menyelesaikan sekolah menengah atasnya, Sekolah Menengan Atas (1952), di sekolah Kristen, St. Yosef di kota Solo. Setamat SMA Rendra pergi ke Jakarta dengan maksud bersekolah di Akademi Luar Negeri. Ternyata akademi tersebut telah ditutup. Lalu dia pergi ke Yogyakarta dan masuk ke Fakultas Sastra, Universitas Gajah Mada. Walaupun tidak menyelesaikan kuliahnya , tidak berarti beliau berhenti untuk mencar ilmu. Pada tahun 1954 beliau memperdalam pengetahuannya dalam bidang drama dan tari di Amerika, dia mendapat beasiswa dari American Academy of Dramatical Art (AADA). Ia juga mengikuti seminar tentang kesusastraan di Universitas Harvard atas seruan pemerintah lokal.

Bakat sastra Rendra sudah mulai terlihat dikala ia duduk di kursi SMP. Saat itu ia telah mulai memperlihatkan kemampuannya dengan menulis puisi, kisah pendek dan drama untuk banyak sekali kegiatan sekolahnya. Bukan hanya menulis, ternyata ia juga cakap di atas panggung. Ia mementaskan beberapa dramanya, dan khususnya tampil sebagai pembaca puisi yang sungguh berbakat. Ia petama kali mempublikasikan puisinya di media massa pada tahun 1952 melalui majalah Siasat. Setelah itu, puisi-puisinya pun tanpa kendala mengalir menghiasi aneka macam majalah pada dikala itu, mirip Kisah, Seni, Basis, Konfrontasi, dan Siasat Baru. Hal itu terus berlanjut seperti tampakdalam majalah-majalah pada dekade berikutnya, terutama majalah tahun 60-an dan tahun 70-an.

“Kaki Palsu” yaitu drama pertamanya, dipentaskan saat beliau di Sekolah Menengah Pertama, dan “Orang-Orang di Tikungan Jalan” yaitu drama pertamanya yang mendapat penghargaan dan kado pertama dari Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Yogyakarta. Pada dikala itu beliau sudah duduk di SMA. Penghargaan itu menjadikannya sungguh bernafsu untuk berkarya. Prof. A. Teeuw, di dalam bukunya Sastra Indonesia Modern II (1989), berpendapat bahwa dalam sejarah kesusastraan Indonesia modern Rendra tidak tergolong ke dalam salah satu angkatan atau golongan seperti Angkatan 45, Angkatan 60-an, atau Angkatan 70-an. Dari karya-karyanya tampakbahwa ia memiliki kepribadian dan keleluasaan sendiri.

Penghargaan WS Rendra

Karya-karya Rendra tidak hanya terkenal di dalam negeri, namun juga di mancanegara. Banyak karyanya yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa abnormal, di antaranya bahasa Inggris, Belanda, Jerman, Jepang dan India. Ia juga aktif mengikuti bazar-pameran di mancanegara, di antaranya The Rotterdam International Poetry Festival (1971 dan 1979), The Valmiki International Poetry Festival, New Delhi (1985), Berliner Horizonte Festival, Berlin (1985), The First New York Festival Of the Arts (1988), Spoleto Festival, Melbourne, Vagarth World Poetry Festival, Bhopal (1989), World Poetry Festival, Kuala Lumpur (1992), dan Tokyo Festival (1995). Untuk aktivitas seninya Rendra sudah mendapatkan banyak penghargaan, antara lain Hadiah Pertama Sayembara Penulisan Drama dari Bagian Kesenian Departemen Pendidikan dan Kebudayaan , Yogyakarta (1954) Hadiah Sastra Nasional BMKN (1956); Anugerah Seni dari Pemerintah Republik Indonesia (1970); Hadiah Akademi Jakarta (1975); Hadiah Yayasan Buku Utama, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1976) ; Penghargaan Adam Malik (1989); The S.E.A. Write Award (1996) dan Penghargaan Achmad Bakri (2006).

Baru pada usia 24 tahun, dia mendapatkan cinta pertama pada diri Sunarti Suwandi. Dari wanita yang dinikahinya pada 31 Maret 1959 itu, Rendra menerima lima anak: Teddy Satya Nugraha, Andreas Wahyu Wahyana, Daniel Seta, Samuel Musa, dan Klara Sinta. Satu di antara muridnya yaitu Bendoro Raden Ayu Sitoresmi Prabuningrat, putri aristokrat Keraton Yogyakarta, yang bersedia lebur dalam kehidupan impulsif dan urakan di Bengkel Teater. Tugas Jeng Sito, begitu panggilan Rendra kepadanya, antara lain menyuapi dan memandikan keempat anak Rendra-Sunarti.

Ujung-ujungnya, ditemani Sunarti, Rendra melamar Sito untuk menjadi istri kedua, dan Sito menerimanya. Dia dinamis, aktif, dan punya kesehatan yang tersadar, tutur Sito ihwal Rendra, terhadap Kastoyo Ramelan dari Gatra. Satu-satunya kendala tiba dari ayah Sito yang tidak membolehkan putrinya, yang beragama Islam, dinikahi seorang pemuda Nasrani. Tapi hal itu bukan halangan besar bagi Rendra. Ia yang pernah menulis litani dan mazmur, serta memerankan Yesus Kristus dalam lakon drama penyaliban Cinta dalam Luka, memilih untuk mengucapkan dua kalimat syahadat pada hari perkawinannya dengan Sito, 12 Agustus 1970, dengan saksi Taufiq Ismail dan Ajip Rosidi.

Peristiwa itu, tak pelak lagi, mengundang berbagai komentar sinis seperti Rendra masuk Islam hanya untuk poligami. Terhadap tudingan tersebut, Rendra memberi alasan bahwa ketertarikannya pada Islam bekerjsama sudah berlangsung usang. Terutama semenjak antisipasi pementasan Kasidah Barzanji, beberapa bulan sebelum pernikahannya dengan Sito. Tapi alasan yang lebih prinsipil bagi Rendra, sebab Islam mampu menjawab persoalan pokok yang terus menghantuinya selama ini: kemerdekaan individual sepenuhnya. Saya bisa pribadi beribadah kepada Allah tanpa membutuhkan pertolongan orang lain. Sehingga saya merasa hak individu saya dihargai, katanya sambil mengutip ayat Alquran, yang menyatakan bahwa Allah lebih akrab dari urat leher seseorang. Toh kehidupannya dalam satu atap dengan dua istri menimbulkan Rendra dituding selaku haus publisitas dan gemar popularitas. Tapi ia menanggapinya dengan ringan saja.

Seperti saat ia menjamu seorang rekannya dari Australia di Kebun Binatang Gembira Loka, Yogyakarta. Ketika menyaksikan seekor burung merak berlangsung bersama dua betinanya, Rendra berseru sambil tertawa terbahak-bahak, Itu Rendra! Itu Rendra!. Sejak itu, julukan Burung Merak melekat padanya sampai sekarang. Dari Sitoresmi, beliau menerima empat anak: Yonas Salya, Sarah Drupadi, Naomi Srikandi, dan Rachel Saraswati. Sang Burung Merak kembali mengibaskan keindahan sayapnya dengan mempersunting Ken Zuraida, istri ketiga yang memberinya dua anak: Isaias Sadewa dan Maryam Supraba. Tapi ijab kabul itu harus dibayar mahal alasannya tak usang sesudah kelahiran Maryam, Rendra menceraikan Sitoresmi pada 1979, dan Sunarti tak usang lalu.

Karya Sajak/Puisi W.S. Rendra

  • Jangan Takut Ibu
  • Balada Orang-Orang Tercinta (Kumpulan sajak)
  • Empat Kumpulan Sajak
  • Rick dari Corona
  • Potret Pembangunan Dalam Puisi
  • Bersatulah Pelacur-Pelacur Kota Jakarta!
  • Nyanyian Angsa
  • Pesan Pencopet terhadap Pacarnya
  • Rendra: Ballads and Blues Poem (terjemahan)
  • Perjuangan Suku Naga
  • Blues untuk Bonnie
  • Pamphleten van een Dichter
  • State of Emergency
  • Sajak Seorang Tua wacana Bandung Lautan Api
  • Mencari Bapak
  • Rumpun Alang-alang
  • Surat Cinta
  • Sajak Rajawali
  • Sajak Seonggok Jagung

Biografi Grup Band Slank

Artis,  Biodata,  Biografi,  Biografi Tokoh Dunia,  Biografi Tokoh Indonesia,  Feed,  Penyanyi,  Profil,  Profil dan Biografi Tokoh Nasional Indonesia,  Sejarah

TintaTeras.com. Slank ialah sebuah grup band terkenal di Indonesia. Dibentuk oleh Bimbim pada 26 Desember 1983 karena jenuh bermain musik menjadi cover band dan punya keinginan yang berpengaruh untuk mencipta lagu sendiri. Cikal bakal lahirnya Slank yaitu sebuah grup bernama Cikini Stones Complex (CSC) bentukan Bimo Setiawan Sidharta (Bimbim) pada permulaan tahun 80-an. Band ini hanya memainkan lagu-lagu Rolling Stones dan tidak mau memainkan lagu dari grup band lain, karenanya mereka hasilnya bosan dan menjelang selesai tahun 1983 grup ini dibubarkan. Bimbim meneruskan semangat bermusik mereka dengan kedua saudaranya Denny dan Erwan membentuk Red Evil yang lalu berubah nama jadi Slank, sebuah nama yang diambil begitu saja dari cemoohan orang yang sering menyebut mereka pemuda selengean dengan personel pelengkap Bongky (gitar) dan Kiki (gitar). Kediaman Bimbim di Jl. Potlot 14 jadi markas besar mereka.

Mereka sempat tampil di beberapa pertunjukan dengan membawakan lagu-lagu sendiri sebelum Erwan memutuskan mundur sebab merasa tak memiliki cita-cita di Slank. Dengan perjuangan panjang terbentuklah deretan ke-13, Bimbim, Kaka, Bongky, Pay dan Indra, Slank baru solid. Dengan gugusan Bimbim (Drum), Bongky (Bass), Pay (Gitar), Kaka (Vokal) dan Indra (Keyboard) mereka mulai menciptakan demo untuk disediakan ke perusahaan rekaman.

Setelah berulang kali ditolak, hasilnya tahun 1990 demonya diterima dan mulai rekaman debut album Suit-Suit… He He He (Gadis Sexy). Album yang menampilkan hit Memang dan Maafkan itu meledak dipasaran sehingga mereka pun diganjar BASF Award untuk kategori pendatang gres terbaik. Album kedua mereka, Kampungan pun menjangkau sukses yang serupa.

NARKOBA

Keterlibatan para personelnya dengan narkoba sempat melahirkan keretakan di tubuh grup musik yang bermarkas di jalan Potlot ini. Pada ketika menggarap album keenam (Lagi Sedih), Bimbim sebagaileader hasilnya memutuskan untuk memecat Bongky, Pay dan Indra. Kaka dan Bimbim tetap menggarap album ke-6 dengan tunjangan additional player.

Band Slank

Sebagai gantinya mereka merekrut Ivanka (Bass), Mohamad Ridho Hafiedz (Ridho) dan Abdee Negara (Abdee). Formasi ini bertahan hingga ketika ini dan mereka terus melahirkan karya-karya yang menegaskan keberadaan mereka di dunia musik Indonesia.

Bimo Setiawan Almachzumi

Nick Name : Bimbim

D.O.B : Jakarta, 25 December

Believe : Islam

Height/Weight : 173 cm / 52 kgs

Hobby : Soccer

Influence : Van Hallen, Rolling Stones, Queen

Position : Drums / Percussions / Guitar

Musical Background :

Self learning to drumming at the age of 13. First gigs in Junior High with Cikini Stones Complex. Former member of SLANK.

Akhadi Wira Satriaji

Nick Name : Kaka

D.O.B : Jakarta, 10 March

Believe : Islam

Height/Weight : 171 cm / 60 kgs

Hobby : Soccer

Influence : Bob Marley, David Coverdale

Position : Guitars / Vocal Cord

Musical Background :

Learnt to sing at the age 9, Forming a grup musik with cousins and friends in Junior High. Self learn to sing by listening his favourites musician’s recorded tapes, Vocalist of LOVINA band, borrowed as vocalist

Ivan Kurniawan Arifin

Nick Name : Ivanka

D.O.B : Jakarta, 9 Desember

Believe : Islam

Height/Weight : 170 cm / 55 kgs

Hobby : Musics

Influence : Rolling Stones, Beatles

Position : Bass / Guitars

Musical Background :

Began to learn guitar at the age of 14 . Finalist at West Java Rock Festival. Foemer member of House Of The Rising Sun Band, Bass player for Imanez’ Otto Jam, Supporting musician for SLANK’s 6th local album.

Mohammad Ridwan Hafiedz

Nick Name : Ridho

D.O.B : Ambon, 3 September

Believe : Islam

Height/Weight : 173 cm / 50 kgs

Hobby : Soccer

Influence : Blues Saraceno, Nick Nolan, Beatles, Jimmy Hendrix

Position : Guitars

Musical Background :

Began to learn music in Samarinda at the age 12. Former member of Cat Power Band. Took a musical course with Didi AGP and Bintang Indiarto in high school. Former member of Last Few Minutes (LFM) Band. Took a guitar course at Musician Institute Hollywood,LA. Supporting musician for Vina Panduwinata, Nita Tilana, Nugie, Vony Sumlang. Joining SLANK in the recording album “TUJUH”.

Abdee Negara

Nick Name : Abdee

D.O.B : Donggala, 28 June

Believe : Islam

Height/Weight : 170 cm / 50 kgs

Hobby : Motor Cross

Influence : Keith Richard, Jimmy Hendrix

Position : Guitars

Musical Background :

Took a guitar course at ILW Farabi in 1988. Supporting musician for Gideon Tengker, Ermy Kulit, Michael “Sket” Meyer, Eki Lamoh. Former member of Interview Band with Hengky Supit, DOR Band with Wawan and Michael Meyer, ENEMES Band with Sandy and Iram “U” Camp, Makhatana Band with Dino and Yoyo “Bayou”, KRS with Cendy Luntungan, Harry Anggoman. ARJACO with Arthur Kaunang and James F. Sundah.

Joining SLANK in the recording album “TUJUH”.

PENGGEMAR

Slank ialah grup cinta tenang dan pada kenyataanya Slank tidak saja berhasil merebut hati penggemar, namun Slank juga sudah berhasil menghidupkan semangat dan solidaritas dari sebuah generasi untuk punya perilaku. Dan Slank mempunyai golongan penggemar yang fanatik dan kreatif, yang dikenal selaku Slankers.

SLANK FANS CLUB

Slank Fan Club (SFC) adalah club resmi yang dibentuk oleh administrasi Slank untuk menampung para penggemar fanatik Slank.

BULETIN SLANK

Untuk memberikan info terhadap para Slanker, Slank dan manajemennya menetapkan untuk menciptakan suatu newsletter yang lalu disebut dengan nama Buletin Slank. Buletin ini berisi jadual, dongeng-dongeng pendek perjalanan tur panggung slank dan sebagainya. Nama buletin sendiri dipakai selaku simbol biar para slanker melingkari (buletin) agenda aktivitas slank di kalender kegiatan mereka masing-masing.

Buletin Slank inilah yang lalu bermetamorfosis Koran Slank.

KORAN SLANK

Koran Slank diterbitkan pertama kali pada 10 Maret 2002.

DISKOGRAFI

1. 1990 – Suit-Suit….Hehehe (Gadis Sexy)

2. 1991 – Kampungan

3. 1993 – Piss

4. 1995 – Generasi Biru

5. 1996 – Minoritas

6. 1996 – Lagi Sedih

7. 1997 – Tujuh

8. 1998 – Mata Hati Reformasi

9. 1999 – 999+09

10. 2001 – Virus

11. 2003 – Satu Satu

12. 2003 – Bajakan!

13. 2004 – Road to Peace

14. 2005 – PLUR

15. 2006 – Slankissme

16. 2007 – Slow But Sure

17. 2007 – Original Soundtrack “Get Married”

18. 2008 – Slank – The Big Hip

19. 2008 – Anthem For The Broken Hearted

20. 2009 – Original Soundtrack Generasi Biru

Personil : Bim-Bim – Kaka – Ridho – Ivanka – Abdee

Mantan Personil : Bongky – Pay – Indra – Reynold

Album Studio : Suit… Suit… He… He… (Gadis Sexy) – Kampungan – Piss! – Generasi Biru – Minoritas – Lagi Sedih – Tujuh – Mata Hati Reformasi – 999 – 09 – Virus – Satu Satu – PLUR – Slankkissme – Slow But Sure

Album Lain : Konser Piss 30 kota – Virus Roadshow – Bajakan – Road to Peace – Ost. Get Married

Biografi Grup Band Dewa 19

Artis,  Biodata,  Biografi,  Biografi Tokoh Dunia,  Biografi Tokoh Indonesia,  Feed,  Penyanyi,  Profil,  Profil dan Biografi Tokoh Nasional Indonesia,  Sejarah

TintaTeras.com. Pada tahun 1986, empat siswa SMPN 6 Surabaya mulai merenda mimpi – mimpi indah menjadi musisi populer. Dengan kemampuan pas – pasan mereka mengibarkan bendera DEWA. Nama ini bukan sekedar gagah – gagahan, melainkan abreviasi dari nama mereka berempat : Dhani Manaf [Keyboard, Vokal], Erwin Prasetya [Bass], Wawan Juniarso [Drum], dan Andra Junaidi [Gitar]. Waktu itu kegilaan mereka pada musik sudah terlihat. Tidak jarang masing – masing terpaksa mangkir sekolah, sekedar untuk mampu ngumpul dan genjrang – genjreng memainkan alat musik. Rumah Wawan di jalan Darmawangsa Dalam Selatan No. 7, yang terletak di salah satu sudut komplek Universitas Airlangga, menjadi markas mereka sebab disana terdapat seperangkat alat musik meskipun seadanya namun Dewa bisa berlatih sepuasnya. Yang membedakan Dewa dengan grup Surabaya lainnya dikala itu adalah warna musik yang mereka mainkan. Kalau grup lain gemar membawakan ajaran heavy metal milik Judas Priest atau Iron Maiden, Dewa timbul dengan lagu – lagu milik Toto yang lebih ngepop. Hanya seluruhnya berganti saat Erwin yang doyan jazz mulai memperkenalkan musik fudion dari Casiopea. Andra dan Dhani yang semula manteng di jalur rock, karenanya ikutan juga. Format musik Dewa pun perlahan – lahan bergeser, bahkan mereka bukan

cuma memainkan lagu – lagu Casiopea, namun juga karya dari musisi jazz beken yang lain mirip Chick Corea atau Uzeb. Dhani, Erwin, dan Andra lantas berangan – angan ingin mirip Krakatau atau Karimata, dua kalangan jazz yang lagi kondang ketika itu. Ini membuat Wawan duka, penggemar berat musik rock ini merasa warna Dewa sudah keluar jalur. Akhirnya Wawan menetapkan keluar pada tahun 1988 dan bergabung dengan Outsider yang antara lain beranggotakan Ari Lasso. Setahun kemudian menyeberang ke Pythagoras. Posisi Wawan di Dewa lantas digantikan abang kelasnya, Salman. Nama Dewa pun bermetamorfosis Down Beat, diambil dari nama suatu majalahjazz terbitan Amerika.

Untuk daerah Jawa Timur dan sekitarnya, nama Down Beat cukup diketahui khususnya sesudah sukses merajai panggung festival. Sebut saja Festival Jazz Remaja se-Jawa Timur, juara I Festival band SLTA ’90 atau juara II Jarum Super Fiesta Musik. Sementara itu Pythagoras pun sukses jadi finalis Festival Rock Indonesia yang digelar promotor Log Zhelebor. Tapi bagi keempat pemuda yang secara psikologis masih dalam penelusuran jati diri itu, jazz ternyata juga hanya sebuah persinggahan. Begitu nama Slank

berkibar harapan mereka pun berganti. Wawan Juniarso segera dipanggil kembali untuk menghidupkan Dewa dan Ari Lasso ikut bergabung. Nama Dewa kembali tegak, bedanya kali ini pakai embel – embel 19 semata alasannya rata – rata usia pemainnya 19 tahun. Seperti halnya Slank, Dewa 19 pun mencampuradukkan beragammusik jadi satu : pop, rock, bahkan jazz, sehingga melahirkan alternatif baru bagi khasanah musik Indonesia saat itu. Teman sekelas Wawan, Harun rupanya kepincut oleh rancangan tersebut dan secepatnya mengucurkan dana Rp. 10 juta untuk memodali sobat – temannya rekaman. Tapi alasannya di Surabaya tidak ada studio yang menyanggupi syarat, mereka terpaksa ke Jakarta padahal jumlah dana tadi terang pas – pasan. Walhasil mereka harus ngirit habis – habisan, segala hal dijalankan sendiri tergolong mengangkat barangdan sebagainya. Tapi disini musikalitas mereka teruji.

Album perdana, 19 berakhir cuma 25 shift saja. Termasuk hebat buat ukuran musisi daerah yang gres saja menginjak rimba ibukota. Dengan master di tangan, Dhani gentayangan dari satu perusahaan rekaman satu ke perusahaan rekaman lain pakai bus kota, sementaraErwin, Wawan, Andra dan Ari menunggu hasilnya di Surabaya. Sempat ditolak sana – sini, master itu hasilnya dilirik oleh Jan Djuhana dari Team Records, yang pernah sukses melejitkan Kla Project.Di luar prasangka, angka pemasaran album 19 meledak di

pasaran, setelah melalui angka 300.000 kopi, pihak BASF mengganjar mereka dengan dua penghargaan sekaligus. Masing – masing untuk klasifikasi Pendatang Baru Terbaikdan Album Terlaris 1993. Dalam pembuatan album Format Masa Depan diwarnai oleh hengkangnya Wawan Juniarso sebab tidak adanya kecocokan diantaranya.

Setelah itu dalam pembuatan album selanjutnya Dewa memakai additional music untuk drummernya yang antara lain : Ronald dan Rere. Setelah album Terbaik – Terbaik akhir, masuklah Wong Aksan menempati posisi drummer. Namun sehabis menuntaskan pembuatan album Pandawa Lima, pada tanggal 04 Juni 1998 Wong Aksan dikeluarkan dari Dewa 19, sebab pukulan dram Aksan dinilai mengarah kemusik jazz dan sebagai gantinya masuklah Bimo Sulaksono (mantan anggota Netral).