Rakyat Aceh boleh berbangga sebab Teuku Markam turunan uleebalang, dia yakni penyumbang terbesar dari emas Monas. Lahir tahun 1925. Ayahnya Teuku Marhaban. Kampungnya Seuneudon dan Alue Capli, Panton Labu Aceh Utara. Sejak kecil Teuku Markam sudah menjadi yatim piatu. Ketika usia 9 tahun, Teuku Marhaban meninggal dunia. Sedangkan ibunya telah lebih dulu meninggal. Teuku Markam lalu diasuh kakaknya Cut Nyak Putroe. Sempat mengecap pendidikan hingga kelas 4 SR (Sekolah Rakyat). Teuku Markam tumbuh lalu menjadi cowok dan memasuki pendidikan wajib militer di Koeta Radja (Banda Aceh sekarang) dan simpulan dengan pangkat letnan satu. Teuku Markam bergabung dengan Tentara Rakyat Indonesia (TRI) dan ikut peperangan di Tembung, Sumatera Utara tolong-menolong dengan Jendral Bejo, Kaharuddin Nasution, Bustanil Arifin dan lain-lain.
Keluar dari tahanan, Teuku Markam kembali ke Jakarta dengan membawa PT Karkam. Perusahaan itu dipercaya oleh Pemerintah RI mengorganisir pampasan perang untuk dijadikan dana revolusi. Selanjutnya Teuku Markam sungguh-sungguh menekuni dunia perjuangan dengan sejumlah aset berupa kapal dan beberapa dok kapal di Palembang, Medan, Jakarta, Makassar, Surabaya. Bisnis Teuku Markam semakin luas sebab ia juga menggeluti dalam ekspor – impor dengan sejumlah negara. Antara lain mengimpor kendaraan beroda empat Toyota Hardtop dari Jepang, besi beton, plat baja dan bahkan sempat mengimpor senjata atas persetujuan Departemen Pertahanan dan Keamanan (Dephankam) dan Presiden.
Komitmen Teuku Markam yakni mendukung usaha RI sepenuhnya termasuk pembebasan Irian Barat serta pemberantasan buta huruf yang waktu itu digenjot habis-habisan oleh Soekarno. Hasil bisnis Teuku Markam konon juga ikut menjadi sumber APBN serta menghimpun sejumlah 28 kg emas untuk ditempatkan di puncak Monumen Nasional (Monas). Sebagaimana kita tahu bahwa proyek Monas merupakan salah satu harapan Soekarno dalam memajukan harkat dan martabat bangsa. Peran Teuku Markam menyukseskan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Asia Afrika tidak kecil berkat perlindungan sejumlah dana untuk keperluan KTT itu.
Emas Monas |
Teuku Markam tergolong salah satu konglomerat Indonesia yang dikenal dekat dengan pemerintahan Soekarno dan sejumlah pejabat lain mirip Menteri PU Ir Sutami, politisi Adam Malik, Soepardjo Rustam, Kaharuddin Nasution, Bustanil Arifin, Suhardiman, pengusaha Probosutedjo dan lain-lain. Pada zaman Soekarno, nama Teuku Markam memang luar biasa terkenal. Sampai-sampai Teuku Markam pernah dibilang selaku kabinet bayangan Soekarno.
Sejarah lalu berbalik. Peran dan bantuan Teuku Markam dalam membangun perekonomian Indonesia seakan menjadi tiada artinya di mata pemerintahan Orba. Ia difitnah selaku PKI dan dituding sebagai koruptor dan Soekarnoisme. Tuduhan itulah yang kemudian mengirimkan Teuku Markam ke penjara pada tahun 1966. Ia dijebloskan ke dalam sel tanpa ada proses pengadilan. Pertama-tama beliau dimasukkan tahanan Budi Utomo, kemudian dipindahkan ke Guntur, berikutnya berpindah ke penjara Salemba Jln Percetakan Negara. Lalu dipindah lagi ke tahanan Cipinang, dan terakhir dipindahkan ke tahanan Nirbaya, tahanan untuk politisi di daerah Pondok Gede Jakarta Timur. Tahun 1972 ia jatuh sakit dan terpaksa dirawat di RSPAD Gatot Subroto selama kurang lebih dua tahun.
Teuku Maryam bersama Teuku Umar |
Peralihan kekuasaan dari Soekarno ke Soeharto menciptakan hidup Teuku Markam menjadi susah dan prihatin. Ia baru bebas tahun 1974. Ini pun, kabarnya, berkat jasa- jasa baik dari sejumlah sahabat setianya. Teuku Markam dilepaskan begitu saja tanpa ada konpensasi apapun dari pemerintahan Orba. “Memang betul, saat itu Teuku Markam tidak akan menuntut hak- haknya. Tapi waktu itu beliau kan tertindas dan teraniaya,” kata Teuku Syauki Markam, salah seorang putra Teuku Markam.
Soeharto sebagaiKetua Presidium Kabinet Ampera, pada 14 Agustus 1966 menggantikan aset Teuku Markam berupa perkantoran, tanah dan lain-lain yang lalu diatur PT PP Berdikari yang diresmikan Suhardiman untuk dan atas nama pemerintahan RI. Suhardiman, Bustanil Arifin, Amran Zamzami (dua orang terakhir ini yakni tokoh Aceh di Jakarta) termasuk sobat-sobat Markam. Namun tidak banyak menolong mengembalikan asset PT Karkam. Justru mereka ikut mengurus aset-aset tersebut di bawah bendera PT PP Berdikari. Suhardiman yakni orang pertama yang memimpin perusahaan tersebut. Di jajaran administrator tertera Sukotriwarno, Edhy Tjahaja, dan Amran Zamzami. Selanjutnya PP Berdikari dipimpin Letjen Achmad Tirtosudiro, Drs Ahman Nurhani, dan Bustanil Arifin SH.
Pada tahun 1974, Soeharto mengeluarkan Keppres N0 31 Tahun 1974 yang isinya antara lain penegasan status harta kekayaan eks PT Karkam/PT Aslam/PT Sinar Pagi yang diambil alih pemerintahan RI tahun 1966 berstatus “pertolongan” yang nilainya Rp 411.314.924,29 selaku penyertaan modal negara di PT PP Berdikari. Kepres itu terbit persis pada tahun dibebaskannya Teuku Markam dari tahanan.
Proyek Bank Dunia
Sekeluar dari penjara, tahun 1974, Teuku Markam mendirikan PT Marjaya dan menggarap proyek-prorek Bank Dunia untuk pembangunan infrastruktur di Aceh dan Jawa Barat. Tapi tidak satupun dari proyek-proyek raksasa yang dijalankan PT Marjaya baik di Aceh maupun di Jawa Barat, mau diresmikan oleh pemerintahan Soeharto. Proyek PT Marjaya di Aceh antara lain pembangunan Jalan Bireuen – Takengon, Aceh Barat, Aceh Selatan, Medan-Banda Aceh, PT PIM dan lain-lain. Teuku Syauki menduga, Rezim Orba sangat takut apabila Teuku Markam kembali bangun. Untuk itulah, kata Teuku Syauki, proyek-proyek Markam “dianggap” angin kemudian. Teuku Markam meninggal tahun 1985 balasan komplikasi aneka macam penyakit di Jakarta. Sampai akhir hayatnya, pemerintah tidak pernah merehabilitasi namanya. Bahkan sampai sekarang. TintaTeras.com