TintaTeras

Biografi Siddhartha Gautama, Dongeng Perjalanan Kehidupan Sang Budha

Facebook
Twitter
LinkedIn
WhatsApp
Telegram

Profil dan  Biografi Siddhartha Gautama – Sang Budha. Siddhartha Gautama diketahui selaku pendiri Agama Budha, salah satu agama di dunia yang mempunyai penganut sangat banyak di dunia.

Biografi Siddhartha Gautama, Kisah Perjalanan Kehidupan Sang Budha

Dikutip dari Wikipedia, Agama Buddha menjadi agama keeempat paling besar di dunia dengan penganut sebanyak 502 juta jiwa di dunia. Simak profil dan Biografi Siddhartha Gautama.

Biodata Siddhartha Gautama

Nama Siddhartha Gautama

Dikenal Sang Buddha, Pendiri Agama Buddha

Lahir Nepal, 563 SM

Wafat India, 483 SM

Orang Tua Raja Suddhodana (ayah), Ratu Mahāmāyā Dewi (ibu)

Saudara Nanda, Nanda, Sundari

Istri Yasodhara

Anak Rahula

Biografi Siddhartha Gautama

Ia dilahirkan dengan nama Siddhārtha Gautama, dia kemudian menjadi sang Buddha atau orang yang meraih pencerahan sejati. Siddhartha Gautama atau sang Budha juga dikenal sebagai Shakyamuni atau Sakyamuni dan sebagai sang Tathagata.

Ayah Siddhartha Gautama bernama Sri Baginda Raja Suddhodana yang merupakan penguasa dari Suku Sakya dan ibu Siddhartha Gautama bernama Sri Ratu Mahä Mäyä Dewi.

Ibunda Ratu meninggal dunia tujuh hari setelah melahirkan Siddhartha Gautama. Setelah meninggal, dia terlahir di alam Tusita, ialah alam sorga luhur. Sejak itu maka yang merawat Pangeran Siddharta yakni Mahä Pajäpati, bibinya yang juga menjadi isteri Raja Suddhodana.

Kelahiran Siddhartha Gautama Sang Buddha

Pangeran Siddhartha Gautama dilahirkan pada tahun 623 SM di Taman Lumbini, dikala itu Ratu Maha Maya berdiri memegang dahan pohon sal. Pada saat ia lahir, dua arus kecil jatuh dari langit, yang satu hambar sedangkan yang yang lain hangat.

Arus tersebut membasuh tubuh Siddhartha. Siddhartha lahir dalam kondisi bersih tanpa noda, bangkit tegak dan langsung mampu melangkah ke arah utara, tempat yang dipijakinya berkembang bunga teratai.

Oleh para pertapa di bawah pimpinan Asita Kaladewala diramalkan bahwa Pangeran Siddharta kelak akan menjadi Maharaja Diraja atau akan menjadi seorang Buddha. Hanya pertapa Kondañña yang dengan pasti meramalkan bahwa Sang Pangeran kelak akan menjadi Buddha.

Mendengar ramalan tersebut Sri Baginda menjadi khawatir, karena kalau Sang Pangeran menjadi Buddha, tidak ada yang hendak mewarisi tahta kerajaannya.

Oleh pertanyaan Sang Raja, para pertapa itu menerangkan supaya Sang Pangeran jangan hingga menyaksikan empat macam insiden, atau dia akan menjadi pertapa dan menjadi Buddha.

Sejak kecil telah tampakbahwa Sang Pangeran yakni seorang anak yang cerdas dan sangat cerdik, selalu dilayani oleh pramusaji -pelayan dan dayang-dayang yang masih muda dan cantik rupawan di istana yang megah dan indah.

Siddhartha Gautama Menikah

Dalam usia 16 tahun Pangeran Siddharta menikah dengan Puteri Yasodhara yang dipersuntingnya sehabis memenangkan berbagai sayembara.

Ternyata akhirnya Sang Pangeran melihat empat peristiwa yang selalu diusahakan semoga tidak berada di dalam penglihatannya, setelah itu Pangeran Siddharta tampak duka dan kecewa melihat kenyataan hidup yang penuh dengan derita ini.

Dalam Usia 7 tahun Pangeran Siddharta telah mempelajari berbagai ilmu pengetahuan. Tetapi Pangeran Siddharta kurang kepincutdengan pelajaran tersebut. Pangeran Siddharta mendiami tiga istana, yaitu istana trend semi, trend hujan dan pancaroba.

Meninggalkan Kehidupan Duniawi

Ketika Siddhartha Gautama berusia 29 tahun, putera pertamanya lahir dan diberi nama Rahula. Setelah itu Pangeran Siddharta meninggalkan istana, keluarga, kemewahan, untuk pergi belajar mencari ilmu sejati yang dapat membebaskan manusia dari usia tua, sakit dan mati.

Pertapa Siddharta mencar ilmu terhadap Alära Käläma dan kemudian kepada Uddaka Ramäputra, namun tidak merasa puas sebab tidak menemukan yang diharapkannya. Kemudian dia bertapa menyiksa diri dengan ditemani lima orang pertapa.

Akhirnya dia juga meninggalkan cara yang ekstrim itu dan bermeditasi di bawah pohon Bodhi untuk menerima Penerangan Agung.

Kata-kata pertapa Asita menciptakan Baginda tidak damai siang dan malam, karena khawatir kalau putra tunggalnya akan meninggalkan istana dan menjadi pertapa, mengembara tanpa tempat tinggal.

Untuk itu Baginda memilih banyak pelayan untuk merawat Pangeran Siddharta, supaya putra tunggalnya menikmati hidup keduniawian.

Segala bentuk penderitaan berusaha dikesampingkan dari kehidupan Pangeran Siddharta, mirip sakit, umur tua, dan kematian. Sehingga Pangeran hanya mengetahui kenikmatan duniawi.

Suatu hari Pangeran Siddharta meminta ijin untuk berjalan di luar istana, dimana pada kesempatan yang berbeda dilihatnya “Empat Kondisi” yang sangat berarti, adalah orang renta, orang sakit, orang mati dan orang suci.

Sehingga Pangeran Siddharta bersedih dan menanyakan terhadap dirinya sendiri, “Apa arti kehidupan ini, kalau seluruhnya akan menderita sakit, umur bau tanah dan ajal.

Lebih-lebih mereka yang minta bantuan kepada orang yang tidak mengetahui, yang serupa-sama tidak tahu dan terikat dengan segala sesuatu yang sifatnya sementara ini!”. Pangeran Siddharta berpikir bahwa cuma kehidupan suci yang hendak menawarkan semua balasan tersebut.

Patung Sang Budha

Selama 10 tahun lamanya Pangeran Siddharta hidup dalam kesenangan duniawi. Pergolakan batin Pangeran Siddharta berlangsung terus sampai berusia 29 tahun, sempurna pada saat putra tunggalnya Rahula lahir.

Pada suatu malam, Pangeran Siddharta memutuskan untuk meninggalkan istananya dan dengan ditemani oleh kusirnya, Canna. Tekadnya telah bundar untuk melaksanakan Pelepasan Agung dengan menjalani hidup sebagai pertapa.

Mengembara

Didalam pengembaraannya, pertapa Gautama mempelajari latihan pertapaan dari pertapa Bhagava dan lalu memperdalam cara bertapa dari dua pertapa lainnya, adalah pertapa Alara Kalama dan pertapa Udraka Ramputra.

Namun setelah mempelajari cara bertapa dari kedua gurunya tersebut, tetap belum ditemukan tanggapan yang diinginkannya. Sehingga sadarlah pertapa Gautama bahwa dengan cara bertapa seperti itu tidak akan meraih Pencerahan Sempurna.

Kemudian pertapa Gautama meninggalkan kedua gurunya dan pergi ke Magadha untuk melaksanakan bertapa menyiksa diri di hutan Uruwela, di tepi Sungai Nairanjana yang mengalir akrab Hutan Gaya.

Walaupun telah melaksanakan bertapa menyiksa diri selama enam tahun di Hutan Uruwela, tetap pertapa Gautama belum juga mampu mengetahui hakekat dan tujuan dari hasil pertapaan yang dijalankan tersebut.

Nasehat tersebut sungguh memiliki arti bagi pertapa Gautama yang kesudahannya menetapkan untuk menghentikan tapanya kemudian pergi ke sungai untuk mandi. Badannya yang sudah tinggal tulang hampir tidak mampu untuk menopang badan pertapa Gautama.

Seorang wanita bernama Sujata memberi pertapa Gautama semangkuk susu. Badannya dirasakannya sangat lemah dan maut hampir saja merenggut jiwanya, tetapi dengan kemauan yang keras membaja, pertapa Gautama melanjutkan pertapaannya.

Perasaan tidak yakin dan ragu melanda diri pertapa Gautama, nyaris saja Beliau putus asa menghadapi godaan Mara, setan penggoda yang dahsyat itu.

Dengan kemauan yang keras membaja dan dengan dogma yang teguh kukuh, risikonya godaan Mara mampu dilawan dan ditaklukkannya. Hal ini terjadi saat bintang pagi memberikan dirinya di ufuk timur.

Mencapai Pencerahan Sempurna

Sekarang pertapa Gautama menjadi terperinci dan jernih, secerah sinar fajar yang menyingsing di ufuk timur. Pertapa Gautama telah meraih Pencerahan Sempurna dan menjadi Samyaksam-Buddha, sempurna pada ketika bulan Purnama Raya di bulan Waisak dikala ia berusia 35 tahun (berdasarkan model Buddhisme Mahayana, 531 SM pada hari ke-8 bulan ke-12, menurut kalender lunar.

Pada dikala meraih Pencerahan Sempurna, dari badan Sang Siddharta memancar enam sinar Buddha (Buddharasmi) Setelah meraih Pencerahan Sempurna, pertapa Gautama menerima gelar kesempurnaan yang antara lain : Buddha Gautama, Buddha Shakyamuni, Tathagata, Sugata, Bhagava dan sebagainya.

Lima pertapa yang mendampingi Beliau di hutan Uruwela ialah murid pertama Sang Buddha yang mendengarkan khotbah pertama Dhammacakka Pavattana, dimana Beliau menerangkan mengenai Jalan Tengah yang ditemukan-Nya, yakni Delapan Ruas Jalan Kemuliaan tergolong awal khotbahNya yang menjelaskan “Empat Kebenaran Mulia”.

Menyebarkan Ajarannya

Buddha Gautama berkelana mengembangkan Dharma selama empat puluh lima tahun lamanya kepada umat manusia dengan penuh cinta kasih dan kasih sayang, hingga kesudahannya meraih usia 80 tahun, dikala ia menyadari bahwa tiga bulan lagi beliau akan mencapai Parinibbana.

Sang Buddha dalam keadaan sakit terbaring di antara dua pohon sala di Kusinagara, memberikan khotbah Dharma terakhir kepada siswa-siswa-Nya, kemudian Parinibbana (versi Buddhisme Mahayana, 486 SM pada hari ke-15 bulan ke-2 kalender Lunar. Versi WFB pada bulan Mei, 543 SM).

Khotbah Buddha Gautama terakhir mengandung arti yang sungguh dalam bagi siswa-siswa-Nya alasannya adalah mengandung prinsip-prinsip beragama, mirip

  • Percaya pada diri sendiri dalam berbagi Ajaran Sang Buddha;
  • Jadikanlah Ajaran Sang Buddha (Dharma) sebagai pencerahan hidup;
  • Segala sesuatu tidak ada yang awet baka;
  • Tujuan dari Ajaran Sang Buddha (Dharma) adalah untuk menertibkan asumsi;
  • Pikiran mampu mengakibatkan seseorang menjadi Buddha, namun anggapan mampu pula menimbulkan seseorang menjadi binatang;
  • Hendaknya saling menghormati satu dengan yang lain dan mampu menghindarkan diri dari segala macam pertikaian;
  • Bilamana melalaikan Ajaran Sang Buddha, dapat berarti belum pernah bertemudengan Sang Buddha.
  • Mara (setan) dan keinginan nafsu duniawi senantiasa mencari kesempatan untuk mendustai umat manusia;
  • Kematian hanyalah musnahnya badan jasmani;
  • Buddha yang sejati bukan badan jasmani manusia, namun Pencerahan Sempurna;
  • Kebijaksanaan Sempurna yang lahir dari Pencerahan Sempurna akan hidup selamanya di dalam Kebenaran;
  • Hanya mereka yang mengerti, yang menghayati dan mengamalkan Dharma yang hendak melihat Sang Buddha;
  • Ajaran yang diberikan oleh Sang Buddha tidak ada yang dirahasiakan, ditutup-tutupi ataupun diselubungi.

Sang Buddha bersabda, “Dengarkan baik baik, wahai para bhikkhu, Aku sampaikan padamu: Akan membusuklah semua benda benda yang terbentuk, berjuanglah dengan sarat kesadaran!” (Digha Nikaya II, 156)

Seorang Buddha mempunyai sifat Cinta Kasih (maitri atau metta) dan Kasih Sayang (karuna) yang diwujudkan oleh sabda Buddha Gautama, “Penderitaanmu ialah penderitaanku, dan kegembiraanmu yakni kegembiraanku.” Manusia adalah pancaran dari semangat Cinta Kasih dan Kasih Sayang yang dapat menuntunnya terhadap Pencerahan Sempurna.

Perlu dimengerti bahwa Siddhartha Gautama atau sang Buddha sangat berpengaruh di dunia dan menjadi ikon paling terkenal di dunia. Beliau bahkan menjadi salah satu tokoh dalam daftar 100 paling besar lengan berkuasa di dunia selain Nabi Muhammad SAW.

Artikel Menarik Lainnya: