TintaTeras

Biografi Nurcholish Madjid – Cendekiawan Muslim

Facebook
Twitter
LinkedIn
WhatsApp
Telegram

Biografi Nurcholish Madjid Prof. Dr. Nurcholish Madjid atau populer diundang Cak Nur lahir di Jombang, Jawa Timur, 17 Maret 1939. Dia ialah seorang pemikir Islam, cendekiawan, dan budayawan Indonesia. Pada era mudanya selaku aktifis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), pandangan baru dan gagasannya ihwal sekularisasi dan pluralisme pernah mengakibatkan kontroversi dan mendapat banyak perhatian dari aneka macam kalangan masyarakat. Nurcholish pernah menjabat sebagai Wakil Ketua Dewan Penasehat Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia, dan selaku Rektor Universitas Paramadina, sampai dengan wafatnya pada tahun 2005. Ia dibesarkan di lingkungan keluarga kiai terpandang di Mojoanyar, Mojokerto, Jawa Timur. Ayahnya, KH Abdul Madjid, dikenal selaku pendukung Masyumi.

Setelah melewati pendidikan di aneka macam pesantren, tergolong Gontor, Ponorogo, menempuh studi kesarjanaan IAIN Jakarta (1961-1968), tokoh HMI ini menjalani studi doktoralnya di Universitas Chicago, Amerika Serikat (1978-1984), dengan disertasi wacana filsafat dan kalam Ibnu Taimiyah. Mengajar di IAIN Syarif Hidayatullah, 1972-1976; dosen pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah, 1985-kini; peneliti pada LIPI, 1978-kini; guru besar tamu pada Universitas McGill, Montreal, Canada, 1991-1992. Fellow dalam Eisenhower Fellowship, bersama isteri, 1990. Ia banyak menulis makalah-makalah yang diterbitkan dalam berbagai majalah, surat kabar dan buku suntingan, beberapa diantaranya berbahasa Inggris. Buku-bukunya yang sudah terbit yakni Khazanah Intelektual Islam (Jakarta, Bulan Bintang/Obor, 1984) dan Islam, Kemodernan dan Keindonesiaan, suntingan Agus Edy Santoso (Bandung, Mizan, 1988)

Sejak 1986, bersama mitra-mitra di ibukota, mendirikan dan memimpin Yayasan Wakaf Paramadina, dengan acara-aktivitas yang mengarah kepada gerakan intelektual Islam di Indonesia. Buku ini adalah salah satu hasil aktivitas itu. Dan semenjak 1991 menjabat Wakil Ketua Dewan pakar Ikatan Cendekiawan Muslim se Indonesia (ICMI).

Cak Nur dianggap selaku salah satu tokoh pembaruan fatwa dan gerakan Islam di Indonesia. Cak Nur dikenal dengan desain pluralismenya yang mengakomodasi keberagaman/ke-bhinneka-an akidah di Indonesia. Menurut Cak Nur, dogma ialah hak primordial setiap manusia dan akidah meyakini eksistensi Tuhan yaitu iktikad yang fundamental. Cak Nur mendukung konsep keleluasaan dalam beragama, namun bebas dalam konsep Cak Nur tersebut dimaksudkan sebagai keleluasaan dalam mengerjakan agama tertentu yang disertai dengan tanggung jawab penuh atas apa yang dipilih. Cak Nur meyakini bahwa manusia sebagai individu yang paripurna, dikala menghadap Tuhan di kehidupan yang akan tiba akan bertanggung jawab atas apa yang ia kerjakan, dan keleluasaan dalam menentukan ialah

desain yang logis.

 Nurcholish Madjid bareng Gusdur

Sebagai tokoh pembaruan dan cendikiawan Muslim Indonesia, seperti halnya K.H Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Cak Nur sering mengutarakan ide-ide yang dianggap kontroversial utamanya ide perihal pembaruan Islam di Indonesia. Pemikirannya dianggap selaku mendorong pluralisme dan keterbukaan tentang pemikiran Islam di Indonesia, terutama sesudah berkiprah dalam Yayasan Paramadina dalam berbagi aliran Islam yang moderat.

Namun demikian, dia juga berjasa saat bangsa Indonesia mengalami krisis kepemimpinan pada tahun 1998. Cak Nur sering diminta hikmah oleh Presiden Soeharto terutama dalam menangani gejolak pasca kerusuhan Mei 1998 di Jakarta sehabis Indonesia dilanda krisis ahli yang merupakan efek krisis 1997. Atas nasehat Cak Nur, Presiden Soeharto mengundurkan diri dari jabatannya untuk menghindari gejolak politik yang lebih parah.

”Jadilah bambu. Jangan jadi pisang. Daunnya lebar menciptakan anaknya tidak kebagian sinar matahari. Bambu lain rela telanjang asal anaknya, rebung, pakaiannya lengkap.”

Metafora itu berulang kali dilontarkan cendekiawan Nurcholish Madjid (66) dalam aneka macam kesempatan. Mengingatkan bangsa ini betapa pentingnya menunda kesenangan untuk hari esok yang lebih baik. Menahan diri dari kemewahan dan mementingkan pendidikan. ”Bila perlu orangtua bangkrut, tetapi anaknya sekolah dengan baik,” pesannya. Cak Nur tidak hanya berpesan, tetapi menyatakannya dalam kehidupan. Kedua anaknya melanjutkan pendidikan ke Amerika Serikat sampai jenjang master. Kesederhanaan menempel berpengaruh dalam keseharian kehidupannya.

Dia bukan hanya cendekiawan, tetapi pemberi ilham bagi bangsanya, dengan pemikiran yang sering kali mendahului zamannya. Tahun 1970, dikala semangat penduduk berpartai menggebu, putra sulung almarhum Abdul Madjid ini timbul dengan jargon ”Islam Yes, Partai Islam No”, untuk melepaskan Islam dari klaim satu golongan tertentu, dan menjadi milik nasional. Namun, sedikit yang paham dengan pemikiran ini, menganggap Cak Nur berbagi sekularisme.

Tahun 1980-an, Cak Nur mendorong terjadinya check and balance dengan munculnya wangsit oposisi loyal. Guru besar Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, ini juga melontarkan ihwal Pancasila sebagai ideologi terbuka, yang juga kembali menuai pro dan kontra. Cak Nur tak pernah surut menyebarkan intelektualitasnya. Lewat Paramadina, dikembangkan komunitas intelektual dan merengkuh kelas menengah Muslim Indonesia untuk lebih intensif mengkaji Islam. Dengan caranya, Cak Nur membuka jalan terwujudnya reformasi dengan menolak anjuran duduk di Komite Reformasi, yang akan dibentuk Presiden Soeharto untuk menghadapi permintaan reformasi (1998). Penolakan itu meruntuhkan planning Soeharto bertahan sebagai presiden.

Kegundahan terhadap kehidupan politik bangsa mendorong Cak Nur menyatakan siap mengikuti penyeleksian presiden pada Pemilu 2004, dan lahirlah 10 program membangun Indonesia. Cak Nur meninggal dunia pada 29 Agustus 2005 balasan penyakit sirosis hati yang dideritanya. Ia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata walaupun ialah warga sipil sebab dianggap telah banyak berjasa kepada negara. www.biografiku.com

Artikel Menarik Lainnya: