KH Hasyim Asy’ari diketahui selaku salah satu ulama paling kuat di Indonesia. Ia juga merupakan pendiri dari Nahdatul Ulama yang kemudian dikenal menjadi salah satu organisasi islam paling besar di Indonesia dan juga besar lengan berkuasa. Sepak terjangnya dalam melaksanakan perlawanan dengan penjajahan Belanda dan Jepang menjadikannya dianugerahi gelar Pahlawan Nasional oleh pemerintah. Bagaimana kisahnya?
Daftar Isi
Daftar Isi:
- 1 Biografi KH Hasyim Asy’ari
- 1.1 Masa Kecil
- 1.2 Belajar di Mekah, Arab Saudi
- 1.3 Mendirikan Pesantren Tebuireng
- 1.4 Pesantren Terbesar di Jawa
- 1.5 Perjuangan Melawan Belanda
- 1.6 Perlawanan Kepada Belanda
- 1.7 Dipenjara oleh Jepang
- 1.8 Perlawanan Dengan Belanda Pasca Kemerdekaan
- 1.9 Mendirikan Masyumi
- 1.10 Awal Mula Terbentuknya Nahdatul Ulama
- 1.11 Mendirikan Nahdatul Ulama (NU)
Biografi KH Hasyim Asy’ari
KH Hasyim Asy’ari dilahirkan pada tanggal 10 April 1875 atau menurut penanggalan arab pada tanggal 24 Dzulqaidah 1287H di Desa Gedang, Kecamatan Diwek, Kabupaten Jombang, Jawa Timur. Beliau wafat pada tanggal 25 Juli 1947 yang lalu dikebumikan di Tebu Ireng, Jombang.
Masa Kecil
KH Hasyim Asyari merupakan putra dari pasangan Kyai Asyari dan Halimah, Ayahnya Kyai Ashari ialah seorang pemimpin Pesantren Keras yang berada di sebelah selatan Jombang.
KH Hasyim Ashari merupakan anak ketiga dari 11 bersaudara. Dari garis keturunan ibunya, KH Hasyim Ashari merupakan keturunan kedelapan dari Jaka Tingkir (Sultan Pajang). dari Ayah dan Ibunya KH Hasyim Ashari menerima pendidikan dan nilai-nilai dasar Islam yang kuat.
Sejak anak-anak, bakat kepemimpinan dan kecerdasan KH Hasyim Ashari memang telah nampak. Di antara sobat sepermainannya, beliau kerap tampil sebagai pemimpin.
Dalam usia 13 tahun, ia sudah menolong ayahnya mengajar santri-santri yang lebih besar ketimbang dirinya. Usia 15 tahun Hasyim meninggalkan kedua orang tuanya, berkelana memperdalam ilmu dari satu pesantren ke pesantren lain.
Mula-mula dia menjadi santri di Pesantren Wonokoyo, Probolinggo. Kemudian pindah ke Pesantren Langitan, Tuban. Pindah lagi Pesantren Trenggilis, Semarang.
Belum puas dengan berbagai ilmu yang dikecapnya, dia melanjutkan di Pesantren Kademangan, Bangkalan di bawah asuhan Kyai Cholil.
KH Hasyim Asyari belajar dasar-dasar agama dari ayah dan kakeknya, Kyai Utsman yang juga pemimpin Pesantren Nggedang di Jombang. Sejak usia 15 tahun, ia berkelana menimba ilmu di banyak sekali pesantren, antara lain Pesantren Wonokoyo di Probolinggo, Pesantren Langitan di Tuban, Pesantren Trenggilis di Semarang, Pesantren Kademangan di Bangkalan dan Pesantren Siwalan di Sidoarjo.
Tak usang di sini, Hasyim pindah lagi di Pesantren Siwalan, Sidoarjo. Di pesantren yang diasuh Kyai Ya’qub inilah, agaknya, Hasyim merasa betul-betul memperoleh sumber Islam yang dikehendaki.
Kyai Ya’qub diketahui selaku ulama yang berpandangan luas dan alim dalam ilmu agama. Cukup usang lima tahun Hasyim menyerap ilmu di Pesantren Siwalan. Dan rupanya Kyai Ya’qub sendiri menggemari cowok yang cerdas dan alim itu.
Maka, Hasyim bukan saja menerima ilmu, melainkan juga istri. Ia, yang gres berumur 21 tahun, dinikahkan dengan Chadidjah, salah satu puteri Kyai Ya’qub.
Tidak usang setelah menikah, Hasyim bareng istrinya berangkat ke Mekkah guna menunaikan ibadah haji. Tujuh bulan di sana, Hasyim kembali ke tanah air, sehabis istri dan anaknya meninggal.
Belajar di Mekah, Arab Saudi
Tahun 1893, Hasyim Asy’ari berangkat lagi ke Tanah Suci. Sejak itulah ia menetap di Mekkah selama 7 tahun dan berguru pada Syaikh Ahmad Khatib Minangkabau, Syaikh Mahfudh At Tarmisi, Syaikh Ahmad Amin Al Aththar, Syaikh Ibrahim Arab, Syaikh Said Yamani, Syaikh Rahmaullah, Syaikh Sholeh Bafadlal, Sayyid Abbas Maliki, Sayyid Alwi bin Ahmad As Saqqaf, dan Sayyid Husein Al Habsyi.
Mendirikan Pesantren Tebuireng
Tahun 1899 pulang ke Tanah Air, KH Hasyim Asy’ari mengajar di pesanten milik kakeknya, Kyai Usman. Tak lama kemudian beliau mendirikan Pesantren Tebuireng. Kyai Hasyim bukan saja Kyai ternama, melainkan juga seorang petani dan pedagang yang sukses.
Tanahnya puluhan hektar. Dua hari dalam sepekan, biasanya KH Hasyim Asy’ari istirahat tidak mengajar. Saat itulah beliau menilik sawah-sawahnya.
Kadang juga pergi Surabaya berjualan kuda, besi dan memasarkan hasil pertaniannya. Dari bertani dan berdagang itulah, KH Hasyim Asy’ari menghidupi keluarga dan pesantrennya.
Tahun 1899, Kyai Hasyim berbelanja sebidang tanah dari seorang dalang di Dukuh Tebuireng. Letaknya kira-kira 200 meter sebelah Barat Pabrik Gula Cukir, pabrik yang sudah berdiri sejak tahun 1870.
Dukuh Tebuireng terletak di arah timur Desa Keras, kurang lebih 1 km. Di sana ia membangun sebuah bangunan yang terbuat dari bambu (Jawa: tratak) selaku kawasan tinggal.
Dari tratak kecil inilah embrio Pesantren Tebuireng dimulai. KH Hasyim Asy’ari mengajar dan salat berjamaah di tratak bab depan, sedangkan tratak bagian belakang dijadikan tempat tinggal.
Saat itu santrinya berjumlah 8 orang, dan tiga bulan lalu meningkat menjadi 28 orang. Setelah dua tahun membangun Tebuireng, Kyai Hasyim kembali harus kehilangan istri tercintanya, Nyai Khodijah.
Saat itu usaha mereka telah menampakkan hasil yang menggembirakan. Kyai Hasyim lalu menikah kembali dengan Nyai Nafiqoh, putri Kyai Ilyas, pengasuh Pesantren Sewulan Madiun.
Dari pernikahan ini Kyai Hasyim dikaruniai 10 anak, yakni: (1) Hannah, (2) Khoiriyah, (3) Aisyah, (4) Azzah, (5) Abdul Wahid, (6) Abdul Hakim (Abdul Kholik), (7) Abdul Karim, (8) Ubaidillah, (9) Mashuroh, (10) Muhammad Yusuf.
Pada tamat dekade 1920an, Nyai Nafiqoh wafat sehingga KH Hasyim Asy’ari menikah kembali dengan Nyai Masruroh, putri Kyai Hasan, pengasuh Pondok Pesantren Kapurejo, Pagu, Kediri. Dari akad nikah ini, Kyai Hasyim dikarunia 4 orang putra-putri, ialah: (1) Abdul Qodir, (2) Fatimah, (3) Khotijah, (4) Muhammad Ya’kub.
Pesantren Terbesar di Jawa
Maka tak aneh jika pesertanya tiba dari aneka macam kawasan di Indonesia, termasuk mantan gurunya sendiri, Kyai Cholil. Ribuan santri belajar kepada Kyai Hasyim. Setelah lulus dari Tebuireng, tak sedikit di antara santri Kyai Hasyim lalu tampil selaku tokoh dan ulama beken dan kuat luas.
KH Abdul Wahab Chasbullah, KH Bisri Syansuri, KH. R. As’ad Syamsul Arifin, Wahid Hasyim (anaknya) dan KH Achmad Siddiq ialah beberapa ulama populer yang pernah menjadi santri Kyai Hasyim.
Tak pelak lagi pada kurun 20 Tebuireng merupakan pesantren paling besar dan terpenting di Jawa. Zamakhsyari Dhofier, penulis buku ‘Tradisi Pesantren’, mencatat bahwa pesantren Tebuireng yaitu sumber ulama dan pemimpin forum-lembaga pesantren di seluruh Jawa dan Madura. Tak heran bila para pengikutnya lalu memberi gelar Hadratus-Syaikh (Tuan Guru Besar) kepada Kyai Hasyim.
Perjuangan Melawan Belanda
Karena pengaruhnya yang demikian besar lengan berkuasa itu, keberadaan Kyai Hasyim menjadi perhatian serius penjajah. Baik Belanda maupun Jepang berusaha untuk merangkulnya. Di antaranya beliau pernah dianugerahi bintang jasa pada tahun 1937, namun ditolaknya.
Justru Kyai Hasyim sempat menciptakan Belanda kelimpungan. Pertama, dia memfatwakan bahwa perang melawan Belanda ialah jihad (perang suci). Belanda lalu sangat kewalahan, karena perlawanan gigih melawan penjajah muncul di mana-mana.
Kedua, Kyai Hasyim juga pernah mengharamkan naik haji menggunakan kapal Belanda. Fatwa tersebut ditulis dalam bahasa Arab dan disiarkan oleh Kementerian Agama secara luas. Keruan saja, Van der Plas (penguasa Belanda) menjadi resah. Karena banyak ummat Islam yang sudah mendaftarkan diri kemudian mengurungkan niatnya.
Dalam biografi KH Hasyim Asy’ari, tetapi sempat juga Kyai Hasyim merasakan penjara 3 bulan pada 1942. Tidak terperinci argumentasi Jepang menangkap Kyai Hasyim. Mungkin, alasannya sikapnya tidak kooperatif dengan penjajah. Uniknya, saking khidmatnya terhadap gurunya, ada beberapa santri minta ikut dipenjarakan bersama Kyainya itu.
Masa permulaan perjuangan KH Hasyim Asy’ari di Tebuireng berbarengan dengan semakin represifnya perlakuan penjajah Belanda terhadap rakyat Indonesia.
Pasukan Belanda tidak segan-segan membunuh masyarakatyang dianggap menentang undang-undang penjajah. Pesantren Tebuireng pun tak luput dari sasaran represif Belanda.
Pada tahun 1913 M., intel Belanda mengantarseorang pencuri untuk membuat keonaran di Tebuireng. Namun beliau tertangkap dan dihajar beramai-ramai oleh santri hingga tewas.
Peristiwa ini dimanfaatkan oleh Belanda untuk menangkap KH Hasyim Asy’ari dengan tuduhan pembunuhan. Dalam pemeriksaan, Kyai Hasyim yang sangat piawai dengan hukum-hukum Belanda, bisa menepis semua tuduhan tersebut dengan taktis.
Akhirnya dia dilepaskan dari jeratan hukum. Belum puas dengan cara memecah-belah, Belanda lalu mengirimkan beberapa kompi pasukan untuk memporak-porandakan pesantren yang gres bangkit 10-an tahun itu.
Akibatnya, nyaris seluruh bangunan pesantren porak-poranda, dan kitab-kitab dihancurkan serta dibakar. Perlakuan represif Belanda ini terus berlangsung sampai masa-kurun revolusi fisik Tahun 1940an.
Pada bulan Maret 1942, Pemerintah Hindia Belanda menyerah kepada Jepang di Kalijati, bersahabat Bandung, sehingga secara de facto dan de jure, kekuasaan Indonesia berpindah tangan ke tentara Jepang.
Perlawanan Kepada Belanda
Pendudukan Dai Nippon menandai datangnya kala gres bagi kelompok Islam. Berbeda dengan Belanda yang represif terhadap Islam, Jepang memadukan antara kebijakan represi dan kooptasi.
Ini selaku upaya untuk mendapatkan bantuan para pemimpin Muslim. Salah satu perlakuan represif Jepang yaitu penahanan kepada Hadratus Syaikh beserta sejumlah putera dan kerabatnya.
Dalam biografi KH Hasyim Asy’ari, dikenali hal tersebut dikerjakan karena KH Hasyim Asy’ari menolak melakukan seikerei. Yaitu kewajiban berbaris dan membungkukkan tubuh ke arah Tokyo setiap pukul 07.00 pagi, sebagai simbol penghormatan kepada Kaisar Hirohito dan ketaatan terhadap Dewa Matahari (Amaterasu Omikami).
Aktivitas ini juga wajib dikerjakan oleh seluruh warga di wilayah pendudukan Jepang, setiap kali berpapasan atau melintas di depan tentara Jepang.
Dipenjara oleh Jepang
Kyai Hasyim Asy’ari menolak hukum tersebut. Sebab cuma Allah lah yang wajib disembah, bukan manusia. Akibatnya, Kyai Hasyim ditangkap dan ditahan secara berpindah–pindah, mulai dari penjara Jombang, kemudian Mojokerto, dan balasannya ke penjara Bubutan, Surabaya.
Karena kesetiaan dan iktikad bahwa Hadratus Syaikh berada di pihak yang benar, sejumlah santri Tebuireng minta ikut ditahan. Selama dalam tahanan, Kyai Hasyim mengalami banyak penyiksaan fisik sehingga salah satu jari tangannya menjadi patah tak mampu digerakkan.
Setelah penahanan Hadratus Syaikh, segenap aktivitas mencar ilmu-mengajar di Pesantren Tebuireng vakum total. Penahanan itu juga mengakibatkan keluarga Hadratus Syaikh tercerai berai. Isteri Kyai Hasyim, Nyai Masruroh, mesti mengungsi ke Pesantren Denanyar, barat Kota Jombang.
Tanggal 18 Agustus 1942, sesudah 4 bulan dipenjara, KH Hasyim Asy’ari dibebaskan oleh Jepang alasannya banyaknya protes dari para Kyai dan santri. Selain itu, pembebasan Kyai Hasyim juga berkat perjuangan dari Kyai Wahid Hasyim dan Kyai Wahab Hasbullah dalam menghubungi pembesar-pembesar Jepang, terutama Saikoo Sikikan di Jakarta.
Tanggal 22 Oktober 1945, ketika serdadu NICA (Netherland Indian Civil Administration) yang dibentuk oleh pemerintah Belanda membonceng pasukan Sekutu yang dipimpin Inggris, berusaha melaksanakan aksi ke tanah Jawa (Surabaya). Dengan argumentasi mengurus tawanan Jepang, KH Hasyim Asy’ari bersama para ulama menyerukan Resolusi Jihad melawan pasukan campuran NICA dan Inggris tersebut.
Perlawanan Dengan Belanda Pasca Kemerdekaan
Resolusi Jihad ditandatangani di kantor NU Bubutan, Surabaya. Akibatnya, meletuslah perang rakyat semesta dalam pertempuran 10 November 1945 yang bersejarah itu.
Umat Islam yang mendengar Resolusi Jihad itu keluar dari kampung-kampung dengan menjinjing senjata apa adanya untuk melawan pasukan gabungan NICA dan Inggris. Peristiwa 10 Nopember kemudian diperingati selaku Hari Pahlawan Nasional.
Mendirikan Masyumi
Pada tanggal 7 Nopember 1945 tiga hari sebelum meletusnya perang 10 Nopember 1945 di Surabaya. Umat Islam membentuk partai politik berjulukan Majelis Syuro Muslim Indonesia (Masyumi).
Pembentukan Masyumi ialah salah satu langkah konsolidasi umat Islam dari aneka macam faham. KH Hasyim Asy’ari diangkat selaku Ro’is ‘Am (Ketua Umum) pertama kala tahun 1945-1947.
Selama kurun perjuangan menghalau penjajah, KH Hasyim Asy’ari diketahui sebagai penganjur, penasehat, sekaligus jenderal dalam gerakan laskar-laskar perjuangan seperti GPII, Hizbullah, Sabilillah, dan gerakan Mujahidin. Bahkan Jenderal Soedirman dan Bung Tomo senantiasa meminta petunjuk kepada Kyai Hasyim.
Kemampuannya dalam ilmu hadits, diwarisi dari gurunya, Syaikh Mahfudh At Tarmisi di Mekkah. Selama 7 tahun Hasyim belajar terhadap Syaikh terkemuka asal Pacitan, Jawa Timur itu. Disamping Syaikh Mahfudh, Hasyim juga menuntut ilmu terhadap Syaikh Ahmad Khatib Al Minangkabau.
Kepada dua guru besar itu pulalah Kyai Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, belajar. Kaprikornus, antara KH Hasyim Asy’ari dan KH Ahmad Dahlan sebenarnya tunggal guru.
Yang perlu ditekankan, saat KH Hasyim Asy’ari mencar ilmu di Mekkah, Muhammad Abduh sedang ulet-giatnya melancarkan gerakan pembaharuan fatwa Islam.
Dan sebagaimana dimengerti, buah anggapan Abduh itu sungguh mempengaruhi proses perjalanan ummat Islam berikutnya. Sebagaimana telah dikupas Deliar Noer, inspirasi-ilham reformasi Islam yang disarankan oleh Abduh yang dilancarkan dari Mesir, telah menarik perhatian santri-santri Indonesia yang sedang belajar di Mekkah.
Termasuk KH Hasyim Asy’ari tentu saja. Ide reformasi Abduh itu ialah pertama mengajak ummat Islam untuk memurnikan kembali Islam dari pengaruh dan praktek keagamaan yang bahu-membahu bukan berasal dari Islam.
Kedua, reformasi pendidikan Islam di tingkat universitas; dan ketiga, mengkaji dan merumuskan kembali kepercayaan Islam untuk diadaptasi dengan kebutuhan-kebutuhan kehidupan modern; dan keempat, menjaga Islam.
Usaha Abduh merumuskan keyakinan-keyakinan Islam untuk menyanggupi kebutuhan kehidupan modern pertama dimaksudkan semoga supaya Islam mampu memainkan kembali tanggung jawab yang lebih besar dalam lapangan sosial, politik dan pendidikan.
Dengan alasan inilah Abduh melancarkan wangsit semoga ummat Islam melepaskan diri dari keterikatan mereka terhadap contoh anggapan para mazhab dan agar ummat Islam meninggalkan segala bentuk praktek tarekat.
Syaikh Ahmad Khatib mendukung beberapa aliran Abduh, meskipun dia berlainan dalam beberapa hal. Beberapa santri Syaikh Khatib saat kembali ke Indonesia ada yang menyebarkan ilham-inspirasi Abduh itu. Di antaranya adalah KH Ahmad Dahlan yang kemudian mendirikan Muhammadiyah.
Tidak demikian dengan KH Hasyim Asy’ari. Ia bahwasanya juga menerima pandangan baru-pandangan baru Abduh untuk menyemangatkan kembali Islam, tetapi ia menolak asumsi Abduh biar ummat Islam melepaskan diri dari keterikatan mazhab.
Ia berkeyakinan bahwa yaitu mustahil untuk mengetahui maksud yang bergotong-royong dari ajaran-ajaran Al Qur’an dan Hadist tanpa mempelajari usulan-usulan para ulama besar yang tergabung dalam tata cara mazhab.
Untuk menafsirkan Al Qur’an dan Hadist tanpa mempelajari dan meneliti buku-buku para ulama mazhab hanya akan menciptakan pemutarbalikan saja dari anutan-fatwa Islam yang sebetulnya, demikian tulis Dhofier.
Dalam hal tarekat, KH Hasyim Asy’ari tidak menganggap bahwa semua bentuk praktek keagamaan waktu itu salah dan berlawanan dengan anutan Islam.
Hanya, beliau berpesan semoga ummat Islam waspada kalau memasuki kehidupan tarekat. Dalam perkembangannya, benturan usulan antara golongan bermazhab yang diwakili golongan pesantren (sering disebut kelompok tradisional), dengan yang tidak bermazhab (diwakili Muhammadiyah dan Persis, sering disebut kelompok modernis) itu memang kerap tidak terelakkan.
Awal Mula Terbentuknya Nahdatul Ulama
Puncaknya yaitu ketika Kongres Al Islam IV yang diselenggarakan di Bandung. Kongres itu diadakan dalam rangka mencari masukan dari aneka macam golongan ummat Islam, untuk dibawa ke Kongres Ummat Islam di Mekkah.
Karena aspirasi golongan tradisional tidak tertampung (di antaranya: tradisi bermazhab agar tetap diberi kebebasan, terpeliharanya daerah-tempat penting, mulai makam Rasulullah hingga para sahabat) golongan ini lalu membentuk Komite Hijaz.
Komite yang dipelopori KH Abdullah Wahab Chasbullah ini bertugas menyampaikan aspirasi golongan tradisional terhadap penguasa Arab Saudi. Atas restu KH Hasyim Asy’ari, Komite inilah yang pada 31 Februari l926 berubah menjadi jadi Nahdlatul Ulama (NU) yang artinya kebangkitan ulama.
Setelah NU bangun posisi kelompok tradisional makin berpengaruh. Terbukti, pada 1937 ketika beberapa ormas Islam membentuk tubuh federasi partai dan perhimpunan Islam Indonesia yang populer dengan sebuta MIAI (Majelis Islam A’la Indonesia) KH Hasyim Asy’ari diminta jadi ketuanya. Ia juga pernah memimpin Masyumi, partai politik Islam terbesar yang pernah ada di Indonesia.
Penjajahan panjang yang mengungkung bangsa Indonesia, membangkitkan kesadaran kaum akil untuk memperjuangkan martabat bangsa, lewat jalan pendidikan dan organisasi. Pada tahun 1908 muncul sebuah gerakan yang kini disebut Gerakan Kebangkitan Nasional.
Semangat Kebangkitan Nasional terus menyebar ke mana-mana, sehingga muncullah aneka macam organisai pendidikan, sosial, dan keagamaan, diantaranya Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air) tahun 1916, dan Taswirul Afkar tahun 1918 (dikenal juga dengan Nahdlatul Fikri atau Kebangkitan Pemikiran).
Dari situ kemudian didirikan Nahdlatut Tujjar (Pergerakan Kaum Saudagar). Serikat itu dijadikan basis untuk memperbaiki perekonomian rakyat.
Dengan adanya Nahdlatul Tujjar, maka Taswirul Afkar tampil sebagi golongan studi serta lembaga pendidikan yang berkembang sungguh pesat dan mempunyai cabang di beberapa kota.
Tokoh utama dibalik pendirian tafwirul afkar ialah, KH Abdul Wahab Hasbullah (tokoh muda pengasuh PP. Bahrul Ulum Tambakberas), yang juga murid hadratus Syaikh. Kelompok ini lahir sebagai bentuk kepedulian para ulama kepada tantangan zaman di era itu, baik dalam duduk perkara keagamaan, pendidikan, sosial, dan politik.
Pada kurun itu, Raja Saudi Arabia, Ibnu Saud, berniat menimbulkan madzhab Salafi-Wahabi selaku madzhab resmi Negara. Dia juga berencana merusak semua peninggalan sejarah Islam yang selama ini banyak diziarahi kaum Muslimin, sebab dianggap bid’ah.
Di Indonesia, planning tersebut mendapat sambutan hangat kalangan modernis mirip Muhammadiyah di bawah pimpinan Ahmad Dahlan, maupun PSII di bawah pimpinan H.O.S. Tjokroaminoto. Sebaliknya, golongan pesantren yang menghormati keberagaman menolak dengan alasan itu ialah pembatasan madzhab dan penghancuran warisan peradaban itu.
Akibatnya, kalangan pesantren dikeluarkan dari keanggotaan Kongres Al Islam serta tidak dilibatkan selaku delegasi dalam Mu’tamar ‘Alam Islami (Kongres Islam Internasional) di Mekah, yang akan mengesahkan keputusan tersebut.
Didorong oleh semangat untuk membuat kebebasan bermadzhab serta rasa kepedulian kepada pelestarian warisan peradaban, maka KH Hasyim Asy’ari bareng para pengasuh pesantren lainnya, membuat utusan yang dinamai Komite Hijaz. Komite yang diketuai KH. Wahab Hasbullah ini datang ke Saudi Arabia dan meminta Raja Ibnu Saud untuk mengurungkan niatnya.
Pada ketika yang hampir serempak, tiba pula tantangan dari berbagai penjuru dunia atas rencana Ibnu Saud, sehingga rencana tersebut digagalkan. Hasilnya, hingga dikala ini umat Islam bebas melakukan ibadah di Mekah sesuai dengan madzhab masing-masing.
Itulah peran internasional kalangan pesantren pertama, yang sukses memperjuangkan kebebasan bermadzhab dan sukses menyelamatkan peninggalan sejarah serta peradaban yang sungguh berguna.
Mendirikan Nahdatul Ulama (NU)
Tahun 1924, kelompok diskusi Taswirul Afkar ingin membuatkan sayapnya dengan mendirikan sebuah organisasi yang ruang lingkupnya lebih besar. Pada tanggal 16 Rajab 1344 H/31 Januari 1926M, organisasi tersebut secara resmi diresmikan, dengan nama Nahdhatul Ulama’, yang artinya kebangkitan ulama.
KH Hasyim Asy’ari dipercaya sebagai Rais Akbar pertama. Kelak, jam’iyah ini menjadi organisasi dengan anggota paling besar di Indonesia, bahkan di Asia.
Sebagaimana dimengerti, ketika itu (bahkan hingga sekarang) dalam dunia Islam terdapat pertentangan faham, antara faham pembaharuan yang dilancarkan Muhammad Abduh dari Mesir dengan faham bermadzhab yang mendapatkan praktek tarekat.
Ide reformasi Muhammad Abduh antara lain bermaksud memurnikan kembali anutan Islam dari dampak dan praktek keagamaan yang bukan berasal dari Islam, mereformasi pendidikan Islam di tingkat universitas, dan mengkaji serta merumuskan kembali iman Islam untuk disesuaikan dengan kebutuhan kehidupan terbaru.
Dengan ini Abduh melancarakan ilham semoga umat Islam terlepas dari contoh ajaran madzhab dan meninggalkan segala bentuk praktek tarekat.
Semangat Abduh juga menghipnotis penduduk Indonesia, pada umumnya di kawasan Sumatera yang dibawa oleh para mahasiswa yang belajar di Mekkah.
Sedangkan di Jawa dipelopori oleh KH. Ahmad Dahlan melalui organisasi Muhammadiyah (bangun tahun 1912). Kyai Hasyim pada prinsipnya mendapatkan pandangan baru Muhammad Abduh untuk menghidupkan kembali pemikiran Islam, akan namun menolak melepaskan diri dari keterikatan madzhab.
Sebab dalam pandangannya, umat Islam sungguh sulit mengetahui maksud Al Alquran atau Hadits tanpa mempelajari kitab-kitab para ulama madzhab. Pemikiran yang tegas dari KH Hasyim Asy’ari ini memperoleh pertolongan para Kyai di seluruh tanah Jawa dan Madura.
KH Hasyim Asy’ari yang dikala itu menjadi ”kiblat” para Kyai, berhasil menyatukan mereka melalui pendirian Nahdlatul Ulama’ ini. Pada ketika pendirian organisasi pergerakan kebangsaan membentuk Majelis Islam ‘Ala Indonesia (MIAI), Kyai Hasyim dengan putranya Kyai Wahid Hasyim, diangkat sebagai pimpinannya (masa tahun 1937-1942). TintaTeras.com