Biografi Kak Seto Mulyadi. Beliau lahir Klaten, 28 Agustus 1951 atau biasa dikenal selaku Kak Seto adalah psikolog anak dan pembawa program televisi untuk anak-anak bareng dengan Henny Purwonegoro. Ia juga menjabat ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak. Seto Mulyadi memiliki kerabat kembar Kresno Mulyadi (yang kini juga menjadi psikolog anak di Surabaya dan abang dari Maruf Mulyadi. Kehilangan orang yang kita sayangi, pasti akan menciptakan kita duka. Namun ada pepatah yang menyatakan, di mana ada musibah pasti ada hikmahnya. Hal ini yang dialami oleh anak dari pasangan Mulyadi Effendy dan Mariati. Seto Mulyadi atau biasa diketahui dengan Kak Seto, ternyata menjalani kurun suram sebelum menggeluti ke dunia anak.
Berawal dari kematian sang adik Arief Budiman ketika berumur tiga tahun balasan penyakit campak, menciptakan Seto mulai menggeluti dunia anak. Sehingga pernah sebuah ketika Seto dan Kresno Mulyadi (adik kembar Seto) pergi ke sebuah toko mainan, datang-tiba terucap dari dua bersaudara ini untuk membeli salah satu boneka untuk sang adik. Namun, sang ibu Mariati dengan bijak meminta kedua anaknya untuk berdoa supaya mendapat adik lagi. Akan namun, hingga keduanya beranjak akil balig cukup akal belum dikaruniakan adik. Seto juga tidak mampu menetralisir pengalaman periode kemudian saat gagal masuk Fakultas Kedokteran yang menjadi cita-cita terbesarnya. Bahkan sangkin nekatnya, Tong -panggilan sayang Seto- pergi ke Jakarta dengan bermodal teman kenal di kereta.
Pengalaman pahitpun pernah dinikmati pria kelahiran 28 Agustus 1951 Klaten, Jawa Tengah ini. “Saya pernah menjadi pengaduk semen, tukang kerikil. Tukang parkir pernah saya lalui dikala pertama kali berada di Jakarta,” ujar Ketua Umum Komisi Nasional Perlindungan Anak ini. Sampai alhasil, Tong melihat salah satu acara anak yang selalu ditangkan sore hari di Stasiun TVRI dengan asuhan Ibu Sandiah’ Kasur. Saat itu, hatinya tergerak untuk ambil bab dalam program tersebut. Dengan tekad yang besar lengan berkuasa, Tong menghampiri rumah Ibu Kasur berharap mampu menyalurkan kecintaannya di dunia anak.
Pucuk dicinta ulampun datang, ketika menghampiri rumah Ibu Kasur malah bertemu dengan Bapak Soerjono’ Kasur. “Kemudian, saya meminta menjadi ajudan Pak Kasur secara sukarela tanpa dibayar. Tanpa pikir panjang, Pak Kasur mendapatkan saya menjadi asisten pada 4 April 1970. Hingga kini, saya jadikan tanggal itu sebagai tanggal yang bersejarah di dalam hidup aku,” imbuh Pendiri dan Ketua Yayasan Nakula Sadewa ini.
Dari sinilah awal kegemilangan Tong mulai meningkat, sampai risikonya Pak Kasur berpesan kepada Seto yang tidak bisa dilupakannya. “Dik, bila saya mati. Adik yang harus melanjutkan perjalanan saya. Sejak dikala itu, saya mulai giat dan aktif dalam menekuni dunia bawah umur,” tutur Pendiri dan Ketua Yayasan Mutiara Indonesia ini.
Dengan penghasilan yang didapatkannya, Tong berhasil mencapai sarjana Psikologi Universitas Indonesia. Setelah 37 berkiprah di dunia anak belum membuat Seto puas. “Karena jutaan belum dewasa haknya masih dilanggar, misalnya dalam perceraian, kekerasan dengan mengatas namakan pendidikan, dan masih banyak yang diperdagangkan. Sehingga, aku mencoba untuk menumbuhkan minat generasi muda untuk meneruskan estafet Pak Kasur dengan menciptakan kelompok pencinta anak (Kompak),” kata mantan Dekan Fakultas Psikologi Universitas Tarumanegara ini.
Bermoto Bangsa yang besar adalah Bangsa yang menyayangi bawah umur’ menciptakan Seto konsisten menggeluti ke dunia belum dewasa. “Walaupun aku ditawari untuk terjun di dunia politik, saya tidak menginginkannya. Dengan berat hati aku akan menolaknya, alasannya adalah aku tidak memiliki kemampuan lainnya selain momong anak,” tandas lulusan Fakultas Psikologi UI 1981 ini. Seto berpesan, maraknya penculikan, penganiayaan dan perdagangan anak yang terjadi selesai-simpulan ini membuat miris hati Tong. Sehingga orang bau tanah harus berperan aktif dalam menjaga belum dewasa walau dengan kegiatan yang menyita waktu dan perhatian orang tua. Bahkan, jika perlu titipkan anak terhadap orang yang bertanggung jawab penuh.
“Orang tua harus peduli kepada hak anak, tergolong hak untuk mendapat sumbangan. Jadi orang tua mesti sadar, bahwa anak tidak cukup bisa untuk melindungi diri sendiri. Di satu segi harus dilatih langkah-langkah awal, sepert berani teriak, jangan pergi ke kawasan yang sepi, memakai aksesori yang belebihan. Dan orangtua mesti mengetahui setiap detik di mana belum dewasa berada,” papar lulusan Program Pascasarjana Psikologi UI ini. Kesibukan Seto ternyata tidak menciptakan Deviana, sang isteri, komplain dalam permasalahan rumah tangga. Karena sejak dini, Seto telah mengajarkan terhadap anak dan isterinya untuk belajar saling terbuka terhadap semua persoalan.
“Hampir setiap Sabtu, kita melaksanakan Sidang Umum Permasalahan Rumah. Nah, disitulah kita mulai saling terbuka tentang semua masalah di rumah. Saat itu juga kita saling kritik dan mengritik, sehingga tidak ada lagi dilema yang mengganjal di antara keluarga. Kalau perlu, setiap saya akan berkunjung ke sebuah daerah sering juga mengajak keluarga. Agar mereka tahu, bagaimana pekerjaan yang dilakukan oleh ayahnya,” tandas ayah dari empat bersaudara ini.
Berjarak 18 tahun dengan Seto, tak membuat hati Devi menciut. Baginya, Seto merupakan sosok bapak, saudara dan sahabat dalam membuatkan suka dan murung. Setopun sempat bernazar, jika sebuah ketika dirinya menikah beliau akan mendongeng terhadap bawah umur yatim piatu.
“Usai para tamu pulang, kita langsung melepas busana dan berganti dengan kostum biasa. Bahkan, isteri aku masih menggunakan sanggul dan langsung menuju Panti Asuhan Muslimin di Kawasan Keramat Raya untuk melaksanakan nazar saya,” kenangnya.