TintaTeras

Biografi Emha Ainun Najib

Facebook
Twitter
LinkedIn
WhatsApp
Telegram

Biografi Emha Ainun NadjibProfil dan Biografi Emha Ainun Najib. Namanya Muhammad Ainun Nadjib atau yang umum di kenal Emha Ainun Nadjib atau Cak Nun lahir di Jombang, Jawa Timur, 27 Mei 1953. Ia merupakan anak keempat dari 15 bersaudara. Ayahnya, Almarhum MA Lathif, adalah seorang petani. Dia mengenyam pendidikan Sekolah Dasar di Jombang (1965) dan Sekolah Menengah Pertama Muhammadiyah di Yogyakarta (1968). Sempat masuk Pondok Modern Gontor Ponorogo namun lalu dikeluarkan karena melaksanakan demo melawan pemerintah pada pertengahan tahun ketiga studinya. Kemudian pindah ke SMA Muhammadiyah I, Yogyakarta hingga simpulan. Lalu sempat melanjut ke Fakultas Ekonomi UGM, namun tidak akhir. Pendidikan formalnya hanya berakhir di Semester 1 Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada (UGM).

Lima tahun hidup menggelandang di Malioboro, Yogyakarta antara 1970-1975 ketika belajar sastra kepada guru yang dikaguminya, Umbu Landu Paranggi, seorang sufi yang hidupnya misterius dan sangat mempengaruhi perjalanan Emha. Selain itu beliau juga pernah mengikuti lokakarya teater di Filipina (1980), International Writing Program di Universitas Iowa, Amerika Serikat (1984), Festival Penyair Internasional di Rotterdam, Belanda (1984) dan Festival Horizonte III di Berlin Barat, Jerman (1985). Dalam kesehariannya, Emha terjun pribadi di masyarakat dan melaksanakan acara-aktivitas yang merangkum dan menggabungkan dinamika kesenian, agama, pendidikan politik, sinergi ekonomi guna menumbuhkan potensialitas rakyat. Di samping kegiatan berkala bulanan dengan komunitas Masyarakat Padhang mBulan, beliau juga berkeliling ke aneka macam kawasan nusantara, rata-rata 10-15 kali per bulan bersama Musik Kiai Kanjeng, dan rata-rata 40-50 acara massal yang lazimnya dikerjakan di area luar gedung. Selain itu dia juga menyelenggarakan program Kenduri Cinta sejak tahun 1990-an yang dijalankan di Taman Ismail Marzuki. Kenduri Cinta ialah forum silaturahmi budaya dan kemanusiaan yang dibungkus sungguh terbuka, nonpartisan, ringan dan dibalut dalam gelar kesenian lintas gender. Dalam pertemuan-pertemuan sosial itu ia melaksanakan banyak sekali dekonstruksi pengertian atas nilai-nilai, contoh-acuan komunikasi, metoda perhubungan kultural, pendidikan cara berpikir, serta pengupayaan penyelesaian-solusi masalah penduduk .

Bersama Grup Musik Kiai Kanjeng, Cak Nun rata-rata 10-15 kali per bulan berkeliling ke berbagai wilayah nusantara, dengan acara massal yang umumnya dilaksanakan di area luar gedung. Di samping itu, secara berkala (bulanan) bareng komunitas Masyarakat Padang Bulan, aktif menyelenggarakan pertemuan sosial melaksanakan banyak sekali dekonstruksi pemahaman atas nilai-nilai, contoh-teladan komunikasi, metoda perhubungan kultural, pendidikan cara berpikir, serta pengupayaan penyelesaian-solusi problem masyarakat.

Dalam aneka macam lembaga komunitas Masyarakat Padang Bulan, itu pembicaraan tentang pluralisme sering muncul. Berkali-kali Cak Nun yang menolak diundang kiai itu meluruskan pemahaman tentang rancangan yang dia sebut sebagai administrasi keberagaman itu. Dia senantiasa berusaha meluruskan banyak sekali salah paham tentang sebuah hal, baik kesalahan makna etimologi maupun makna kontekstual. Salah satunya perihal dakwah, dunia yang beliau anggap sudah terpolusi. Menurutnya, sudah tidak ada parameter siapa yang layak dan tidak untuk berdakwah. “Dakwah yang utama bukan dengan kata-kata, melainkan dengan sikap. Orang yang berbuatrumah kontrakannya, di Bugisan, Yogyakarta. Beberapa kota di Jawa pernah mereka kunjungi, untuk satu dua kali pertunjukan. Selain manggung, ia juga menjasjid, dan aneka macam komunitas warga tak disebut selaku acara dakwah. “Itu hanya be baik sudah berdakwah,” katanya.

Karena itulah ia lebih bahagia kalau kehadirannya bersama Istrinya Novia Kolopaking, dikenal selaku seniman film, panggung, serta penyanyi dan kelompok musik Kiai Kanjeng di taman budaya, maya itu sejak selesai 1970-an, melakukan pekerjaan sama dengan Teater Dinasti — yang berpangkalan di ntuk pelayanan. Pelayanan yakni ibadah dan mesti dilakukan bukan hanya secara vertikal, tapi horizontal,” ungkapnya.

Karirnya diawali selaku Pengasuh Ruang Sastra di harian Masa Kini, Yogyakarta (1970). Kemudian menjadi Wartawan/Redaktur di harian Masa Kini, Yogyakarta (1973-1976), sebelum menjadi pemimpin Teater Dinasti (Yogyakarta), dan band Kyai Kanjeng hingga sekarang. Penulis puisi dan kolumnis di beberapa media.

Ia juga mengikuti banyak sekali bazar dan lokakarya puisi dan teater. Di antaranya mengikuti lokakarya teater di Filipina (1980), International Writing Program di Universitas Iowa, AS (1984), Festival Penyair Internasional di Rotterdam, Belanda (1984) dan Festival Horizonte III di Berlin Barat, Jerman (1985).

Cak Nun memacu kehidupan multi-kesenian di Yogya bersama Halimd HD, networker kesenian lewat Sanggarbambu, aktif di Teater Dinasti dan mengasilkan beberapa reportoar serta pementasan drama. Di antaranya: Geger Wong Ngoyak Macan (1989, wacana pemerintahan ‘Raja’ Soeharto); Patung Kekasih (1989, wacana pengkultusan); Keajaiban Lik Par (1980, ihwal eksploitasi rakyat oleh banyak sekali institusi modern); Mas Dukun (1982, perihal gagalnya forum kepemimpinan terbaru).

Selain itu, bareng Teater Salahudin mementaskan Santri-Santri Khidhir (1990, di lapangan Gontor dengan seluruh santri menjadi pemain, serta 35.000 penonton di alun-alun madiun). Lautan Jilbab (1990, dipentaskan secara massal di Yogya, Surabaya dan Makassar); dan Kiai Sableng dan Baginda Faruq (1993).

Juga mementaskan Perahu Retak (1992, tentang Indonesia Orba yang digambarkan lewat situasi pertentangan pra-kerajaan Mataram, selaku buku diterbitkan oleh Garda Pustaka), di samping Sidang Para Setan, Pak Kanjeng, Duta Dari Masa Depan. Dia juga termasuk inovatif dalam menulis puisi. Terbukti, ia telah menerbitkan 16 buku puisi: “M” Frustasi (1976); Sajak-Sajak Sepanjang Jalan (1978); Sajak-Sajak Cinta (1978); Nyanyian Gelandangan (1982); 99 Untuk Tuhanku (1983); Suluk Pesisiran (1989); Lautan Jilbab (1989); Seribu Masjid Satu Jumlahnya ( 1990); Cahaya Maha Cahaya (1991); Sesobek Buku Harian Indonesia (1993); Abacadabra (1994); dan Syair Amaul Husna (1994)

Selain itu, juga telah menerbitkan 30-an buku esai, di antaranya: Dari Pojok Sejarah (1985); Sastra Yang Membebaskan (1985); Secangkir Kopi Jon Pakir (1990); Markesot Bertutur (1993); Markesot Bertutur Lagi (1994); Opini Plesetan (1996); Gerakan Punakawan (1994); Surat Kepada Kanjeng Nabi (1996); Indonesia Bagian Penting dari Desa Saya (1994); Slilit Sang Kiai (1991); Sudrun Gugat (1994); Anggukan Ritmis Kaki Pak Kiai (1995); Bola- Bola Kultural (1996); Budaya Tanding (1995); Titik Nadir Demokrasi (1995); Tuhanpun Berpuasa (1996); Demokrasi Tolol Versi Saridin (1997); Kita Pilih Barokah atau Azab Allah (1997);

Iblis Nusantara Dajjal Dunia (1997); 2,5 Jam Bersama Soeharto (1998); Mati Ketawa Cara Refotnasi (1998); Kiai Kocar Kacir (1998); Ziarah Pemilu, Ziarah Politik, Ziarah Kebangsaan (1998); Keranjang Sampah (1998); Ikrar Husnul Khatimah (1999); Jogja Indonesia Pulang Pergi (2000); Ibu Tamparlah Mulut Anakmu (2000); Menelusuri Titik Keimanan (2001); Hikmah Puasa 1 & 2 (2001); Segitiga Cinta (2001); “Kitab Ketentraman” (2001); “Trilogi Kumpulan Puisi” (2001); “Tahajjud Cinta” (2003); “Ensiklopedia Pemikiran Cak Nun” (2003); Folklore Madura (2005); Puasa ya Puasa (2005); Kerajaan Indonesia (2006, kumpulan wawancara); Kafir Liberal (2006); dan, Jalan Sunyi EMHA (Ian L. Betts, Juni 2006).

Cak Nun bersama Grup Musik Kiai Kanjeng dengan balutan pakaian serba putih, ber-shalawat (bernyanyi) dengan gaya gospel yang berpengaruh dengan iringan musik gamelan kekinian di hadapan jemaah yang berkumpul di sekitar panggung Masjid Cut Meutia. Setelah shalat tarawih termenung, kemudian sayup-sayup terdengar intro lagu Malam Kudus. Kemudian terdengar syair, “Sholatullah salamullah/ ’Ala thoha Rasulillah/ Sholatullah salamullah/ Sholatullah salamullah/ ’Ala yaasin Habibillah/ ’Ala yaasin Habibillah…”

Biografi Emha Ainun Nadjib

Tepuk tangan dan teriakan penonton pun membahana sesudah shalawat itu final dilantunkan. “Tidak ada lagu Nasrani, tidak ada lagu Islam. Saya bukan bernyanyi, saya ber-shalawat,” ujarnya menjawab pertanyaan yang ada di benak jemaah masjid. Tampaknya Cak Nun berupaya merombak cara pikir penduduk mengenai pengertian agama. Bukan hanya pada Pagelaran Al Alquran dan Merah Putih Cinta Negeriku di Masjid Cut Meutia, Jakarta, Sabtu (14/10/2006) malam, itu beliau melaksanakan hal-hal yang kontroversial. Dalam berbagai komunitas yang dibentuknya, oase ajaran muncul, menyegarkan hati dan fikiran.

Perihal pluralisme, sering muncul dalam diskusi Cak Nun bareng komunitasnya. “Ada apa dengan pluralisme?” katanya. Menurut dia, semenjak zaman kerajaan Majapahit tidak pernah ada problem dengan pluralisme. “Sejak zaman nenek moyang, bangsa ini telah plural dan bisa hidup rukun. Mungkin sekarang ada intervensi dari negara luar,” ujar Emha. Dia dengan tegas menyatakan mendukung pluralisme. Menurutnya, pluralisme bukan menilai semua agama itu sama. Islam beda dengan Nasrani, dengan Buddha, dengan Kristen, dengan Hindu. “Tidak mampu disamakan, yang beda semoga berlainan. Kita harus menghargai itu semua,” tutur budayawan intelektual itu. www.biografiku.com

Artikel Menarik Lainnya: