TintaTeras

Biografi Douwes Dekker, Kisah Nasionalis Keturunan Belanda Pejuang Kemerdekaan Indonesia

Facebook
Twitter
LinkedIn
WhatsApp
Telegram

Douwes Dekker diketahui selaku salah satu tokoh penting dalam sejarah pergerakan Indonesia menuju kemerdekaannya. Meskipun dia keturunan Belanda namun jiwa nasionalisme dalam darahnya sungguh tinggi. Ia juga dimengerti ialah salah satu pendiri dari Indische Partij, Partai politik yang berhaluan nasionalis.

Biografi Douwes Dekker - Tokoh Pejuang Kemerdekaan Indonesia

Dalam perjalanan hidupnya, dia banyak memihak pribumi Indonesia dan kerap mengkritik kebijakan pemerintah kolonial Belanda ketika merugikan rakyat Indonesia kurun itu. Maka tak aneh jikalau dia dianugerahi gelar Pahlawan Nasional Indonesia. Berikut profil dan biografi Douwes Dekker

Biodata Douwes Dekker

Nama Lengkap : Dr. Ernest François Eugène Douwes Dekker (Danudirja Setiabudi)
Tanggal lahir : 8 Oktober 1879, di Pasuruan.
Wafat : 28 Agustus 1950 di Bandung, Jawa Barat.
Nama Orang Tua : Auguste Henri Edoeard Douwes Dekker (ayah), Louisa Neumann (ibu)
Saudara : Adeline (1876) dan Julius (1878)
Pekerjaan :Politikus, Wartawan, Aktivis, Penulis
Istri : Clara Charlotte Deije, Johanna P. Mossel, Haroemi Wanasita (Nelly Kruymel)

Biografi Douwes Dekker

Beliau mempunyai nama lengkap Dr. Ernest François Eugène Douwes Dekker namun bangsa Indonesia lebih mengenalnya selaku Douwes Dekker atau dengan nama Danudirja Setiabudi. Beliau merupakan orang keturunan Belanda yang memihak pribumi. Beliau dilahirkan pada tanggal 18 oktober 1879 di Kota Pasuruan yang kurun itu masih dalam daerah pemerintahan Hindia Belanda.

Douwes Dekker terlahir dari keluarga yang berada. ayahnya berjulukan Auguste Henri Edoeard Douwes Dekker yang melakukan pekerjaan sebagai agen di sebuah bank terkemuka yang berjulukan Nederlandsch Indisch Escomptobank. Kemudian Ibunya bernama Louisa Neumann, orang Belanda yang mempunyai darah keturunan Indonesia.

Pendidikan Douwes Dekker

Douwes Dekker dimengerti memiliki kerabat berjumlah tiga orang. Pendidikan Douwes Dekker pertama kali dimulai kota Pasuruan. Tamat dari sana, ia kemudian masuk di HBS di Surabaya, tetapi tidak usang disana, orang tuanya kemudian memindahkannya ke sekolah elit di Batavia yang bernama Gymnasium Koning Willem III School.

Selepas lulus dari sana, beliau lalu diterima bekerja di kebun kopi di kawasan Malang, Jawa Timur. Disini, dia lalu melihat bagaimana perlakuan semena-mena yang dialami oleh para pekerja pribumi di kebun kopi tersebut.

Tindakan semena-mena tersebut membuatnya kemudian lazimmembela para pekerja kebun tersebut yang membuat beliau condong dimusuhi oleh para pengawas kebun lainnya.

Hingga membuat dia kemudian berkonflik dengan managernya yang pada risikonya Douwes Dekker lalu dipindahkan ke perkebunan Tebu.

Ia kemudian tidak usang melakukan pekerjaan disana karena ia kembali berkonflik perusahaannya alasannya adalah dilema pembagian irigasi antara perkebunan tebu dan para petani padi diwilayah tersebut yang pada balasannya menciptakan ia dipecat dari pekerjaannya.

Berangkat Ke Afrika Selatan

Setelah dipecat dan menjadi seorang pengangguran, ibunya Louisa Neumann kemudian meninggal dan menyebabkan Douwes Dekker lalu depresi.

Ia kemudian meninggalkan Hindia Belanda dan kemudian ke Afrika Selatan menerima ajuan pemerintah kolonial Belanda untuk ikut berperang dalam perang Boer melawan Inggris pada tahun 1899 dan Di Afrika Selatan, dia bahkan sempat menjadi warga negara disana dan menciptakan saudaranya lainnya menyusulnya kesana.

Namun ia lalu ditangkap dan sempat dipenjara disana. Ia lalu berkenalan dengan sastrawan India yang lalu membuka pendangan Douwes Dekker perihal perlakuan semena-mena pemerintahan kolonial Belanda pada penduduk pribumi.

Nasionalis keturunan Belanda ini kemudian kembali ke Hindia Belanda (Indonesia) tahun 1902. Ia kemudian melakukan pekerjaan sebagai seorang wartawan di koran bernama De Locomotief, alasannya adalah keahliannya dalam menciptakan laporan tentang pertempuran.

Tahun 1903, dia lalu mempersunting seorang wanita keturunan Jerman-Belanda berjulukan Clara Charlotte Deije yang memberinya lima orang anak. Selama menjadi wartawan di koran De Locomotief, ia banyak mengangkat tentang masalah kelaparan di daerah Indramayu. Tulisan-tulisannya sebagai jurnalis banyak mengkritik kebijakan-kebijakan pemerintah kolonial.

Saat Douwes Dekker menjadi staf di sebuah majalah bernama Bataviaasch Nieuwsblad di tahun 1907, tulisan-tulisannya cenderung membela bangsa pribumi dan bertambah banyak menkritik pemerintah kolonial Belanda. Salah satu tulisannya yang terkenal ialah “Hoe kan Holland het spoedigst zijn koloniën verliezen?” yang mempunyai arti “Bagaimana caranya Belanda mampu kehilangan koloni-koloninya”.

Tindakannya tersebut menjadikannya menjadi sasaran dari inteljen pemerintah kolonial Belanda. Ia juga menawarkan daerah tinggalnya saat itu sebagai tempat untuk berkumpulnya para kaum pergerakan dikala itu mirip Sutomo dan Cipto Mangunkusumo.

Banyak yang menganggap bahwa berkat pemberian Douwes Dekker, organisasi Budi Utomo selaku organisasi nasional pertama ketika itu dapat bangun.

Melihat adanya diskriminasi oleh pemerintahan kolonial Belanda ketika itu kepada kaum pribumi terutama di bidang pemerintahan. Faktanyabanyak posisi-posisi penting di pemerintahan di jabat oleh orang Belanda dan untuk kaum pribumi sendiri cuma dijadikan selaku pegawai rendahan karena aspek pendidikan.

Mendirikan Indische Partij

Melihat hal tersebut, Ia lalu memperlihatkan sebuah wangsit perihal sebuah pemerintahan Hindia Belanda yang dilaksanakan oleh para penduduk pribumi asli.

Idenya tersebut ia sampaikan terhadap partai Indische Bond dan Insulinde yang dikala itu anggota berasal dari kaum pribumi. Disamping itu beliau juga berharap dari idenya tersebut kedua partai tersebut dapat bergabung. Ide Douwes Dekker tersebut kemudian disambut hangat tetapi cuma segelintir orang saja yang menyambut idenya tersebut.

Biografi Douwes Dekker - Tokoh Pejuang Kemerdekaan Indonesia

Pada tanggal 25 Desember 1912, Douwes Dekker bareng Suwardi Suryaningrat dan dr. Cipto Mangunkusumo kemudian mendirikan suatu partai politik yang berhaluan nasionalis pertama yang bernama Indische Partij.

Dalam waktu yang tidak terlampau lama, partai ini mampu mengumpulkan anggota hingga mencapai 5000 orang dan sungguh terkenal dikalangan pribumi Indonesia.

Berkembang pesatnya Indische Partij selaku partai politik nasional pertama menciptakan pemerintah Belanda kemudian meragukan gerak-gerik dari partai ini.

Ada yang menuduh partai ini anti-kolonial dan bermaksud semoga Indonesia dapat merdeka dari tangan Belanda sehingga di tahun 1913, Partai Indische Partij balasannya dibubarkan oleh pemerintah kolonial Belanda.

Para pendirinya yaitu Douwes Dekker, Suwardi Suryaningrat dan dr. Cipto Mangunkusumo yang kemudian diketahui sebagai Tiga Serangkai jadinya diasingkan.

Diasingkan ke Eropa

Pendiri Indische Partij ini kemudian diasingkan ke Eropa. Selama di Eropa, dia tinggal bareng keluarganya dan melanjutkan pendidikannya dengan mengambil acara doktor di Universitas Zurich, Swiss dalam bidang ekonomi.

Di Swiss, beliau sempat terlibat konspirasi dengan kaum revolusi India dan sampai kemudian beliau ditangkat di Hongkong dan lalu diadili disana. Di Singapura, pada tahun 1918, beliau juga sempat di tahan dan kemudian dipenjara selama dua tahun.

Aktif di Dunia Jurnalistik

Setelah bebas, beliau kemudian kembali ke Hindia Belanda (Indonesia). Di Indonesia, Ia lalu kembali aktif di dunia jurnalistik. Tulisan-tulisannya kemudian banyak menyindir kaum kolonial.

Di ketika itu juga, Douwes Dekker kemudian mendirikan partai gres penerus Indische Partij yang bernama Nationaal Indische Partij namun partai tersebut tidak menerima izin dari pemerintahan kolonial Belanda.

Di tahun 1919, ia dituduh terlibat dalam peristiwa kerusuhan petani perkebunan tembakau Polanharjo, Klaten. Namun di pengadilan, dia lalu dibebaskan karena tidak terbukti bersalah.

Namun tuduhan baru kemudian menimpanya, Ia dituduh menulis hasutan dan melindungi seorang redaktur surat kabar yang menulis komentar tajam terhadap pemerintah kolonial Belanda.

Namun sesudah di pengadilan lalu dinyatakan tidak bersalah dan dibebaskan dari segala tuduhan. Di tahun yang sama juga, ia menentukan bercerai dengan istrinya adalah Clara Charlotte Deije.

Banyaknya tuduhan-tuduhan perihal goresan pena dan aktifitasnya dibidang jurnalistik membuatnya kemudian meninggalkan dunianya tersebut dan kemudian aktif dalam melaksanakan penulisan buku-bumi semi ilmiah.

Mendirikan Ksatrian Instituut

Dan atas masukan dari sahabatnya yaitu Suwardi Suryaningrat (Ki Hadjar Dewantara), Douwes Dekker kemudian terjun di dunia pendidikan dan mendirikan Ksatrian Instituut di Bandung.

Sekolah yang diresmikan oleh Douwes Dekker ini lebih banyak mengajarkan perihal sejarah dari Indonesia dan juga sejarah dunia yang ditulis oleh Douwes Dekker sendiri.

Dalam mengelola Ksatrian Instituut, dia banyak dibantu oleh Johanna Petronella Mossel yang bekerja selaku seorang guru. Dan pada akibatnya Douwes Dekker lalu menikah lagi dengan Johanna Petronella Mossel namun dari pernikahannya, mereka tidak dkarunia anak.

Pelajaran yang ada di Ksatrian Instituut ini dituduh selaku anti kolonial dan pro kepada Jepang. Akhirnya tahun 1933, buku-buku karangan Douwes Dekker banyak disita dan lalu dibakar oleh pemerintahan kolonial Belanda. Ia juga tidak boleh mengajar dan memasuki era penjajahan Jepang, dia tetap tidak boleh mengajar.

Larangan mengajar membuat ia kemudian bekerja di kantor Kamar Dagang Jepang di Batavia (Jakarta). Disini, ia kemudian bersahabat dengan Mohammad Husni Thamrin.

Serangan Jerman ke Eropa membuat banyak orang-orang Eropa yang ditangkap termasuk Douwes Dekker yang dituduh selaku Komunis.

Douwes Dekker kemudian dibuang ke Suriname di tahun 1941 yang juga mengakibatkan ia lalu berpisah dengan istrinya Johanna Petronella Mossel yang memilih untuk menikah lagi dengan seorang pribumi berjulukan Djafar Kartodiredjo.

Di Suriname, beliau tinggal di kamp ‘Jodensavanne’ yang sempat menjadi kamp orang Yahudi. Di kamp tersebut, kehidupan Douwes Dekker sangat memprihatikan bahkan dikala ia berumur 60 tahun, beliau sempat kehilangan penglihatan dan hidupnya sungguh frustasi.

Kembali ke Indonesia

Usainya perang dunia II, menciptakan Douwes Dekker kemudian dikirim ke Belanda tahun 1946. Disana beliau berjumpa dengan seorang perawat bernama Nelly Albertina Gertzema nee Kruymel yang kemudian menemaninya ke Indonesia.

Ia tiba pada tanggal 2 januari 1947 di Yogyakarta dan sempat mengubah namanya untuk menyingkir dari intelijen. Di tahun ittu juga beliau menikah dengan Nelly Albertina Gertzema nee Kruymel yang kemudian diketahui dengan nama Haroemi Wanasita setelah mengetahui bahwa istrinya sebelumnya telah menikah lagi.

Biografi Douwes Dekker - Tokoh Pejuang Kemerdekaan Indonesia

Menteri di Kabinet Sjahrir III

Setelah Indonesia mengumumkan kemerdekaan, Douwes Dekker lalu mengisi posisi penting sebagai menteri negara di kabinet Sjahrir III walaupun cuma 9 bulan saja.

Douwes Dekker juga sempat menjadi utusan negosiasi dengan Belanda dan pengajar di Akademi Ilmu Politik  dan kepala seksi penulisan sejarah yang berada dibawah Kementrian Penerangan saat itu.

Tanggal 21 Desember 1948 ketika aksi militer Belanda terhadap Indonesia, Douwes Dekker ditangkap oleh Belanda dan kemudian di interogasi dan dikirim ke Jakarta.

Namun alasannya adalah kondisi fisiknya yang sudah tua dan berjanji tidak akan menggeluti lagi ke dunia politik, Ia lalu dibebaskan dan ia kemudian tinggal di Bandung di daerah bernama Lembangweg.

Ia kemudian aktif kembali di dunia pendidikan di Ksatriaan Instituut yang pernah ia dirikan dan kegiatannya yakni menyusun autobiografi dirinya dan juga beliau banyak merevisi buku-buku sejarah yang pernah ia tulis.

Douwes Dekker Wafat

Pada tanggal 28 agustus 1950, Douwes Dekker akhirnya menghembuskan nafas terakhirnya, namun di watu nisan makamnya tertulis ia wafat pada tanggal 29 agustus 1950. Beliau kemudian dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Cikutra, Bandung.

Untuk menghormati jasa-jasanya, namanya yag lebih diketahui selaku ‘Setiabudi’ diabadikan selaku nama jalan di Bandung dan kemudian nama tempat di daerah Jakarta.

Dan pemerintah Indonesia melalui presiden Soekarno pada tanggal 9 november 1961 mengeluarkan Kepres No. 590 tahun 1961 mengenai penetapan Douwes Dekker atau Danudirja Setiabudi selaku Pahlawan Nasional.

Artikel Menarik Lainnya: