TintaTeras

Biografi Dewi Sartika, Kisah Pahlawan Perintis Pendidikan Kaum Wanita

Facebook
Twitter
LinkedIn
WhatsApp
Telegram

Profil dan biografi singkat Dewi Sartika. Beliau dikenal sebagai salah satu pahlawan nasional wanita. Salah satu jasa Dewi Sartika untuk Indonesia yaitu ia merupakan tokoh perintis pendidikan untuk kaum perempuan.

Sama dengan RA Kartini, Dewi Sartika juga diketahui sebagai salah satu tokoh pejuang emansipasi wanita. Berikut profil dan biografi singkat dari Dewi Sartika

Biografi Dewi Sartika

Dewi Sartika lahir di Cicalengka, Bandung, Jawa Barat pada tanggal 4 Desember 1884. Ayahnya berjulukan Raden Somanagara yaitu seorang pejuang kemerdekaan. Terakhir, sang ayah dieksekusi buang ke Pulau Ternate oleh Pemerintah Hindia Belanda hingga meninggal dunia di sana. Ibunya berjulukan Nyi Raden Ayu Rajapermas.

Masa Kecil Dewi Sartika

Meski melanggar adab dikala itu, orang tuanya bersikukuh menyekolahkan Dewi Sartika, ke sekolah Belanda pula. Sepeninggal ayahnya, Dewi Sartika dirawat oleh pamannya (kakak ibunya) yang berkedudukan sebagai patih di Cicalengka.

Dari pamannya, ia mendapatkan didikan tentang kesundaan, sedangkan pengetahuan kebudayaan Barat diperolehnya dari berkat didikan seorang nyonya Asisten Residen bangsa Belanda.

Pendidikan Dewi Sartika

Sejak kecil, Dewi Sartika sudah menawarkan talenta pendidik dan kegigihan untuk meraih kemajuan. Sambil bermain di belakang gedung kepatihan, beliau sering memperagakan praktik di sekolah, mengajari baca-tulis, dan bahasa Belanda, kepada bawah umur pembantu di kepatihan.

Papan bilik kandang kereta, arang, dan pecahan genting dijadikannya alat bantu mencar ilmu. Raden Dewi Sartika yang mengikuti pendidikan Sekolah Dasar di Cicalengka, sejak kecil memang telah memberikan minatnya di bidang pendidikan.

Dikatakan demikian alasannya semenjak belum dewasa beliau telah senang memerankan sikap seorang guru. Sebagai teladan, sebagaimana layaknya belum dewasa, umumnya sepulang sekolah, Dewi kecil selalu bermain sekolah-sekolahan dengan sobat-sobat anak perempuan sebayanya, dikala itu ia sungguh bahagia berperan selaku guru.

Waktu itu Dewi Sartika baru berumur sekitar sepuluh tahun, ketika Cicalengka digemparkan oleh kemampuan baca-tulis dan beberapa patah kata dalam bahasa Belanda yang ditunjukkan oleh bawah umur pembantu kepatihan.

Gempar, alasannya di waktu itu belum banyak anak-anak (terlebih anak rakyat jelata) memiliki kesanggupan seperti itu, dan diajarkan oleh seorang anak perempuan.

Berpikir agar anak-anak perempuan di sekitarnya bisa memperoleh potensi belajar pengetahuan, maka ia berjuang mendirikan sekolah di Bandung, Jawa Barat. Ketika itu, ia telah tinggal di Bandung.

Dewi Sartika Mendirikan Sekolah Isteri

Perjuangannya tidak sia-sia, dengan pertolongan R.A.A.Martanegara, kakeknya, dan Den Hamer yang menjabat Inspektur Kantor Pengajaran saat itu, maka pada tahun 1904 Dewi Sartika berhasil mendirikan sebuah sekolah yang dinamainya “Sekolah Isteri”.

Sekolah tersebut hanya dua kelas sehingga tidak cukup untuk menampung semua acara sekolah. Maka untuk ruangan berguru, beliau mesti meminjam sebagian ruangan Kepatihan Bandung.

Awalnya, muridnya hanya dua puluh orang. Murid-murid yang hanya perempuan itu diajar berhitung, membaca, menulis, menjahit, merenda, menyulam dan pelajaran agama.

Profil dan Biografi Dewi Sartika

Sekolah Istri tersebut terus menerima perhatian faktual dari penduduk . Murid- murid kian banyak, bahkan ruangan Kepatihan Bandung yang dipinjam sebelumnya juga tidak cukup lagi menampung murid-murid.

Sekolah Keutamaan Isteri Dewi Sartika

Untuk mengatasinya, Sekolah Isteri pun kemudian dipindahkan ke tempat yang lebih luas. Seiring perjalanan waktu, enam tahun semenjak didirikan, pada tahun 1910, nama Sekolah Istri sedikit diperbarui menjadi Sekolah Keutamaan Isteri. Perubahan bukan cuma pada nama saja, tapi mata pelajaran juga bertambah.

Ia berusaha keras mendidik belum dewasa gadis supaya kelak bisa menjadi ibu rumah tangga yang baik, mampu berdiri sendiri, luwes, dan terampil. Maka untuk itu, pelajaran yang berafiliasi dengan pembinaan rumah tangga banyak diberikannya.

Untuk menutupi ongkos operasional sekolah, ia membanting tulang mencari dana. Semua jerih payahnya itu tidak dirasakannya jadi beban, tapi berganti menjadi kepuasan batin sebab sudah sukses mendidik kaumnya.

Salah satu yang memperbesar semangatnya yaitu dorongan dari berbagai pihak terutama dari Raden Kanduruan Agah Suriawinata, suaminya, yang telah banyak membantunya merealisasikan perjuangannya, baik tenaga maupun anutan.

Pada tahun-tahun selanjutnya di beberapa daerah Pasundan bermunculan beberapa Sakola Istri, terutama yang diatur oleh wanita-wanita Sunda yang memiliki harapan yang sama dengan Dewi Sartika.

Dalam biografi Dwwi Sartika dikenali bahwa pada tahun 1912 telah berdiri sembilan Sakola Istri di kota-kota kabupaten (setengah dari seluruh kota kabupaten se-Pasundan). Memasuki usia ke-sepuluh, tahun 1914, nama sekolahnya diganti menjadi Sakola Kautamaan Istri (Sekolah Keutamaan Perempuan).

Kota-kota kabupaten wilayah Pasundan yang belum memiliki Sakola Kautamaan Istri tinggal tiga/empat, semangat ini menyeberang ke Bukittinggi, di mana Sakola Kautamaan Istri diresmikan oleh Encik Rama Saleh.

Seluruh daerah Pasundan lengkap memiliki Sakola Kautamaan Istri di tiap kota kabupatennya pada tahun 1920, ditambah beberapa yang bangun di kota kewedanaan. Bulan September 1929, Dewi Sartika mengadakan perayaan pendirian sekolahnya yang sudah berumur 25 tahun.

Penghargaan Dari Pemerintah Hindia Belanda

Sekolah ini lalu berganti nama menjadi “Sakola Raden Déwi”. Atas jasanya dalam bidang ini, Dewi Sartika dianugerahi bintang jasa oleh pemerintah Hindia-Belanda.

Biografi Dewi Sartika

Dalam biografi Dewi Sartika dikenali bahwa, Pada tahun 1906, Dewi Sartika menikah dengan Raden Kanduruan Agah Suriawinata, seseorang yang mempunyai visi dan keinginan yang sama, guru di Sekolah Karang Pamulang, yang pada waktu itu ialah Sekolah Latihan Guru.

Dewi Sartika Wafat

Dewi Sartika meninggal 11 September 1947 di Tasikmalaya, dan dimakamkan dengan sebuah upacara pemakaman sederhana di pemakaman Cigagadon-Desa Rahayu Kecamatan Cineam. Tiga tahun lalu dimakamkan kembali di kompleks Pemakaman Bupati Bandung di Jalan Karang Anyar, Bandung.

Prestasi Dewi Sartika dalam mengembangkan pendidikan untuk kaum pribumi khususnya untuk kaum wanita menciptakan pemerintah Indonesia menganugerahkan Dewi Sartika sebagai Pahlawan Nasional pada tahun 1966.

Jangan tanya apa yang sudah diberikan negara kepadamu, tapi apa yang telah kau berikan pada negaramu. 

Keteladanan Perjuangan Dewi Sartika

Kata bijak diatas sangat tepat menjadi panduan semua bangsa yang mau menobatkan seseorang selaku akseptor gelar kehormatan ‘satria’ di negaranya. Terlepas dari bentuk atau cara perjuangannya, seorang satria niscaya sudah berbuat sesuatu yang heroik untuk bangsanya sesuai keadaan zamannya. Demikian halnya dengan Raden Dewi Sartika.

Jika satria lain melaksanakan usaha untuk bangsanya melalui perang frontal mirip angkat senjata, Dewi Sartika memilih perjuangan lewat pendidikan, yaitu dengan mendirikan sekolah. Berbagai tantangan, utamanya di bidang pendanaan operasional sekolah yang didirikannya sering dihadapinya.

Namun berkat kegigihan dan ketulusan hatinya untuk membangun masyarakat negerinya, sekolah yang didirikannya sebagai sarana pendidikan kaum perempuan bisa bangkit terus, bahkan menjadi panutan di daerah yang lain.

Artikel Menarik Lainnya: