TintaTeras

Biografi Bilal Bin Rabah – Muazin Rasulullah Saw

Biografi,  Biografi Tokoh Islam,  Feed,  Profil,  Sejarah,  Tokoh Agama

Profil dan Biografi Bilal Bin Rabah – Muazin Rasulullah SAW. Bilal Bin Rabah Al-Habasyi lahir di kawasan as-Sarah sekitar 43 tahun sebelum hijrah. Ayahnya berjulukan Rabah, sedangkan ibunya berjulukan Hamamah, seorang budak wanita berkulit hitam yang tinggal di Mekah. Karena ibunya itu, sebagian orang mengundang Bilal dengan istilah ibnus-Sauda’ (putra perempuan hitam). Bilal dibesarkan di kota Ummul Qura (Makah) sebagai seorang budak milik keluarga bani Abdud-dar. Saat ayah mereka meninggal, Bilal diwariskan terhadap Umayyah bin Khalaf, seorang tokoh penting kaum kafir Quraisy.

Ketika Makah diterangi cahaya agama baru dan Rasul yang agung Shalallahu ‘alaihi wasallam mulai mengumandangkan usul kalimat tauhid, Bilal yakni tergolong orang-orang pertama yang memeluk Islam. Saat Bilal masuk Islam, di bumi ini cuma ada beberapa orang yang sudah mendahuluinya memeluk agama baru itu, seperti Ummul Mu’minin Khadijah binti Khuwailid, Abu Bakar ash-Shiddiq, Ali bin Abi Thalib, ‘Ammar bin Yasir bareng ibunya, Sumayyah, Shuhaib ar-Rumi, dan al-Miqdad bin al-Aswad.

Bilal merasakan penganiayaan orang-orang musyrik yang lebih berat dari semua orang. Berbagai macam kekerasan, siksaan, dan kekejaman mendera tubuhnya. Namun dia, sebagaimana kaum muslimin yang lemah yang lain, tetap tabah menghadapi cobaan di jalan Allah itu dengan ketekunan yang jarang sanggup ditunjukkan oleh siapa saja.

Orang-orang Islam mirip Abu Bakar dan Ali bin Abi Thalib masih memiliki keluarga dan suku yang membela mereka. Akan tetapi, orang-orang yang tertindas (mustadh’afun) dari kalangan hamba sahaya dan budak itu, tidak memiliki siapa saja, sehingga orang-orang Quraisy menyiksanya tanpa belas kasihan. Quraisy ingin menimbulkan penyiksaan atas mereka sebagai acuan dan pelajaran bagi setiap orang yang ingin mengikuti anutan Muhammad.

Kaum yang tertindas itu disiksa oleh orang-orang kafir Quraisy yang berhati sungguh kejam dan tak mengenal kasih sayang, seperti Abu Jahal yang sudah menodai dirinya dengan membunuh Sumayyah. Ia sempat mencemooh dan mencaci-maki, kemudian menghunjamkan tombaknya pada perut Sumayyah sampai menembus punggung, dan gugurlah syuhada pertama dalam sejarah Islam.

Sementara itu, kerabat-saudara seperjuangan Sumayyah, khususnya Bilal bin Rabah, terus disiksa oleh Quraisy tanpa henti. Biasanya, apabila matahari sempurna di atas ubun-ubun dan padang pasir Mekah menjelma perapian yang begitu menyengat, orang-orang Quraisy itu mulai membuka pakaian orang-orang Islam yang tertindas itu, lalu memakaikan baju besi pada mereka dan membiarkan mereka terbakar oleh sengatan matahari yang terasa semakin terik. Tidak cukup sampai di sana, orang-orang Quraisy itu mencambuk badan mereka sambil memaksa mereka mencaci maki Muhammad.

Adakalanya, ketika siksaan terasa begitu berat dan kekuatan badan orang-orang Islam yang tertindas itu kian lemah untuk menahannya, mereka mengikuti kemauan orang-orang Quraisy yang menyiksa mereka secara lahir, sementara hatinya tetap pasrah terhadap Allah dan Rasul-Nya, kecuali Bilal, supaya Allah meridhainya. Baginya, penderitaan itu masih terasa terlalu ringan bila daripada kecintaannya terhadap Allah dan usaha di jalan-Nya.

Orang Quraisy yang paling banyak menyiksa Bilal adalah Umayyah bin Khalaf bersama para algojonya. Mereka menghantam punggung telanjang Bilal dengan cambuk, tetapi Bilal hanya berkata, “Ahad, Ahad … (Allah Maha Esa).” Mereka menindih dada telanjang Bilal dengan batu besar yang panas, Bilal pun cuma berkata, “Ahad, Ahad ….“ Mereka makin mengembangkan penyiksaannya, tetapi Bilal tetap mengatakan, “Ahad, Ahad….”

Mereka memaksa Bilal agar memuji Latta dan ‘Uzza, tetapi Bilal justru memuji nama Allah dan Rasul-Nya. Mereka terus memaksanya, “Ikutilah yang kami katakan!” Bilal menjawab, “Lidahku tidak bisa mengatakannya.” Jawaban ini membuat siksaan mereka semakin hebat dan keras.

Apabila merasa letih dan bosan menyiksa, sang tiran, Umayyah bin Khalaf, mengikat leher Bilal dengan tali yang bernafsu lalu menyerahkannya terhadap sejumlah orang tak berbudi dan bawah umur agar menariknya di jalanan dan menyeretnya di sepanjang Abthah1 Mekah. Sementara itu, Bilal menikmati siksaan yang diterimanya sebab membela pemikiran Allah dan Rasul-Nya. Ia terus mengumandangkan pernyataan agungnya, “Ahad…, Ahad…, Ahad…, Ahad….” Ia terus mengulang-ulangnya tanpa merasa bosan dan lelah.

Suatu ketika, Abu Bakar Radhiyallahu ‘anhu mengajukan penawaran kepada Umayyah bin Khalaf untuk membeli Bilal darinya. Umayyah memaksimalkan harga berlipat ganda. Ia menduga Abu Bakar tidak akan mau membayarnya. Tapi ternyata, Abu Bakar baiklah, walaupun mesti mengeluarkan sembilan uqiyah emas2. Seusai transaksi, Umayyah berkata kepada Abu Bakar, “Sebenarnya, jika engkau menawar hingga satu uqiyah-pun, maka saya tidak akan ragu untuk menjualnya.” Abu Bakar membalas, “Seandainya engkau memberi tawaran sampai seratus uqiyah-pun, maka saya tidak akan ragu untuk membelinya.”

Ketika Abu Bakar menginformasikan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bahwa ia sudah berbelanja sekaligus menyelamatkan Bilal dari cengkeraman para penyiksanya, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam berkata terhadap Abu Bakar, “Kalau begitu, biarkan saya bersekutu denganmu untuk membayarnya, wahai Abu Bakar.” Ash-Shiddiq Radhiyallahu ‘anhu menjawab, “Aku sudah memerdekakannya, wahai Rasulullah.”

Bilal tinggal di Madinah dengan damai dan jauh dari jangkauan orang-orang Quraisy yang kerap menyiksanya. Kini, ia mencurahkan segenap perhatiannya untuk menyertai Nabi sekaligus kekasihnya, Muhammad Shalallahu ‘alaihi wasallam. Bilal selalu mengikuti Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam ke mana pun dia pergi. Selalu bersamanya saat shalat maupun ketika pergi untuk berjihad. Kebersamaannya dengan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam mirip bayangan yang tidak pernah lepas dari pemiliknya.

Ketika Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam simpulan membangun Masjid Nabawi di Madinah dan memutuskan adzan, maka Bilal ditunjuk sebagai orang pertama yang mengumandangkan adzan (muadzin) dalam sejarah Islam.

Biasanya, setelah mengumandangkan adzan, Bilal bangkit di depan pintu rumah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam seraya berseru, “Hayya ‘alashsholaati hayya ‘alashsholaati…(Mari melakukan shalat, mari menjangkau laba….)” Lalu, dikala Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam keluar dari rumah dan Bilal menyaksikan dia, Bilal segera melantunkan iqamat.

Suatu saat, Najasyi, Raja Habasyah, menghadiahkan tiga tombak pendek yang tergolong barang-barang paling istimewa miliknya terhadap Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam mengambil satu tombak, sementara sisanya diberikan kepada Ali bin Abu Thalib dan Umar ibnul Khaththab, tetapi tidak lama lalu, ia menunjukkan tombak itu kepada Bilal. Sejak saat itu, selama Nabi hidup, Bilal selalu membawa tombak pendek itu ke mana-mana. Ia membawanya dalam peluang dua shalat ‘id (Idul Fitri dan Idul Adha), dan shalat istisqa’ (mohon turun hujan), dan menancapkannya di hadapan ia dikala melakukan shalat di luar masjid.

Bilal menyertai Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam dalam Perang Badar. Ia menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri bagaimana Allah memenuhi komitmen-Nya dan membantu serdadu-Nya. Ia juga menyaksikan langsung tewasnya para pembesar Quraisy yang pernah menyiksanya dengan ahli. Ia menyaksikan Abu Jahal dan Umayyah bin Khalaf tersungkur berkalang tanah ditembus pedang kaum muslimin dan darahnya mengalir deras alasannya adalah bacokan tombak orang-orang yang mereka siksa dulu.

Ketika Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam menaklukkan kota Makkah, beliau berjalan di depan pasukan hijaunya bersama “sang pengumandang panggilan langit”, Bilal bin Rabah. Saat masuk ke Ka’bah, dia hanya ditemani oleh tiga orang, yaitu Utsman bin Thalhah, pembawa kunci Ka’bah, Usamah bin Zaid, yang diketahui selaku kekasih Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam dan putra dari kekasihnya, dan Bilal bin Rabah, Muadzin Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam.

Shalat Zhuhur tiba. Ribuan orang berkumpul di sekeliling Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam, tergolong orang-orang Quraisy yang baru masuk Islam ketika itu, baik dengan suka hati maupun terpaksa. Semuanya melihat pemandangan yang agung itu. Pada ketika-ketika yang sangat bersejarah itu, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam memanggil Bilal bin Rabah biar naik ke atap Ka’bah untuk mengumandangkan kalimat tauhid dari sana. Bilal melakukan perintah Rasul Shalallahu ‘alaihi wasallam dengan senang hati, lalu mengumandangkan adzan dengan suaranya yang higienis dan terperinci.

Ribuan pasang mata memandang ke arahnya dan ribuan pengecap mengikuti kalimat azan yang dikumandangkannya. Tetapi di segi lain, orang-orang yang tidak beriman dengan sepenuh hatinya, tak kuasa memendam hasad di dalam dada. Mereka merasa kedengkian telah merobek-robek hati mereka.

Saat adzan yang dikumandangkan Bilal sampai pada kalimat, “Asyhadu anna muhammadan rasuulullaahi (Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah delegasi Allah)”. Juwairiyah binti Abu Jahal bergumam, “Sungguh, Allah telah mengangkat kedudukanmu. Memang, kami tetap akan shalat, tetapi demi Allah, kami tidak menggemari orang yang telah membunuh orang-orang yang kami sayangi.” Maksudnya, yakni ayahnya yang tewas dalam Perang Badar.

Khalid bin Usaid berkata, “Aku bersyukur terhadap Allah yang sudah memuliakan ayahku dengan tidak menyaksikan insiden hari ini.” Kebetulan ayahnya meninggal sehari sebelum Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam masuk ke kota Makah. Sementara Al-Harits bin Hisyam berkata, “Sungguh malang nasibku, mengapa aku tidak mati saja sebelum menyaksikan Bilal naik ke atas Ka’bah.” Al-Hakam bin Abu al-’Ash berkata, “Demi Allah, ini bencana alam yang sungguh besar. Seorang budak bani Jumah bersuara di atas bangunan ini (Ka’bah).”

Sementara Abu Sufyan yang berada dekat mereka cuma berkata, “Aku tidak mengatakan apa pun, alasannya adalah jika saya menciptakan pernyataan, walau hanya satu kalimat, maka pasti akan hingga kepada Muhammad bin Abdullah.” Bilal menjadi muadzin tetap selama Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam hidup. Selama itu pula, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam sungguh menggemari bunyi yang ketika disiksa dengan siksaan yang begitu berat di periode kemudian, dia melantunkan kata, “Ahad…, Ahad… (Allah Maha Esa).”

Sesaat setelah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam mengembuskan nafas terakhir, waktu shalat datang. Bilal bangkit untuk mengumandangkan adzan, sementara jasad Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam masih terbungkus kain kafan dan belum dikebumikan. Saat Bilal sampai pada kalimat, “Asyhadu anna muhammadan rosuulullaahi (Aku bersaksi bahwa Muhammad yakni utusan Allah)”, tiba-tiba suaranya terhenti. Ia tidak sanggup mengangkat suaranya lagi. Kaum muslimin yang datang di sana tak kuasa menahan tangis, maka meledaklah bunyi isak tangis yang menciptakan situasi semakin mengharu biru.

Sejak kepergian Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wasallam, Bilal cuma sanggup mengumandangkan adzan selama tiga hari. Setiap sampai kepada kalimat, “Asyhadu anna muhammadan rosuulullaahi (Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah delegasi Allah)”, beliau langsung menangis tersedu-sedu. Begitu pula kaum muslimin yang mendengarnya, larut dalam tangisan pilu.

Karena itu, Bilal memohon terhadap Abu Bakar, yang menggantikan posisi Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wasallam sebagai pemimpin, agar diperkenankan tidak mengumandangkan adzan lagi, alasannya adalah tidak mampu melakukannya. Selain itu, Bilal juga meminta izin kepadanya untuk keluar dari kota Madinah dengan alasan berjihad di jalan Allah dan ikut berperang ke daerah Syam.

Awalnya, Ash-Shiddiq merasa ragu untuk mengabulkan permintaan Bilal sekaligus mengizinkannya keluar dari kota Madinah, tetapi Bilal mendesaknya seraya berkata, “Jika dulu engkau membeliku untuk kepentingan dirimu sendiri, maka engkau berhak menahanku, namun jika engkau sudah memerdekakanku karena Allah, maka biarkanlah aku bebas menuju terhadap-Nya.”

Abu Bakar menjawab, “Demi Allah, saya betul-betul membelimu untuk Allah, dan aku memerdekakanmu juga sebab Allah.” Bilal menyahut, “Kalau begitu, aku tidak akan pernah mengumandangkan adzan untuk siapa pun setelah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam wafat.” Abu Bakar menjawab, “Baiklah, aku mengabulkannya.” Bilal pergi meninggalkan Madinah bareng pasukan pertama yang diantaroleh Abu Bakar. Ia tinggal di tempat Darayya yang terletak tidak jauh dari kota Damaskus. Bilal sungguh-sungguh tidak inginmengumandangkan adzan hingga kehadiran Umar ibnul Khaththab ke kawasan Syam, yang kembali bertemu dengan Bilal Radhiyallahu ‘anhu setelah terpisah cukup usang.

Umar sungguh merindukan konferensi dengan Bilal dan menaruh rasa hormat begitu besar kepadanya, sehingga kalau ada yang menyebut-nyebut nama Abu Bakar ash-Shiddiq di depannya, maka Umar secepatnya menimpali (yang artinya), “Abu Bakar yaitu tuan kita dan telah memerdekakan tuan kita (maksudnya Bilal).”

Dalam potensi konferensi tersebut, sejumlah teman mendesak Bilal agar mau mengumandangkan adzan di hadapan al-Faruq Umar ibnul Khaththab. Ketika bunyi Bilal yang nyaring itu kembali terdengar mengumandangkan adzan, Umar tidak sanggup menahan tangisnya, maka iapun menangis tersedu-sedu, yang kemudian dibarengi oleh seluruh sahabat yang hadir sampai janggut mereka lembap dengan air mata. Suara Bilal membangkitkan segenap kerinduan mereka terhadap kurun-masa kehidupan yang dilewati di Madinah bersama Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam. Bilal, “pengumandang usul langit itu”, tetap tinggal di Damaskus hingga wafat.

Biografi Muammar Khadafi – Diktator Libya

Biografi,  Biografi Tokoh Dunia,  Feed,  Profil,  Sejarah,  Tokoh Diktator,  Tokoh Pemimpin

Muammar khadafi, diktator, libya, biografi, pemimpinBiografi Muammar Abu Minyar al-Qaddafi atau Muammar Khadafi, lahir di Surt, Tripolitania, 7 Juni 1942, Khadafi besar dalam angin padang pasir yang keras. Dia lahir di suatu tenda Badui, di gurun pasir bersahabat Kota Sirt, pada 1942. Dia berasal dari suku kecil turunan Berber Arab, ialah Khadafa. Tumbuh dikala dunia Arab sedang bergolak, Khadafi tampaknya menyerap semua pertentangan itu ke jagad kecilnya. Di Palestina, pertentangan berlarat-larat setelah Yahudi membentuk negara Israel pada 1948. Dia juga larut dalam gelora nasionalisme Arab, yang diteriakkan pemimpin Mesir Gammal Abdul Nasser, pada 1952.

Tumbuh dikala dunia Arab sedang bergolak, Khadafi sepertinya menyerap semua konflik itu ke jagad kecilnya. Di Palestina, pertentangan berlarat-larat setelah Yahudi membentuk negara Israel pada 1948. Dia juga larut dalam gelora nasionalisme Arab, yang diteriakkan pemimpin Mesir Gammal Abdul Nasser, pada 1952.

Bersekolah di madrasah lokal, Khadafi kecil sudah menaruh minat besar pada sejarah. Selesai menjalani pendidikan lanjut, Khadafi menggeluti ke dunia militer. Di Libya pada ketika itu, menjadi serdadu yaitu potensi emas memperbaiki taraf hidup bagi keluarga kurang mampu. Itu sebabnya, masuk militer adalah opsi bagi belum dewasa muda miskin mirip Khadafi.

Pada 1961, Khadafi masuk ke perguruan tinggi militer. Dia lulus lima tahun kemudian. Dianggap punya prospek cemerlang, Khadafi terpilih ikut pendidikan militer lanjutan selama beberapa bulan di Akademi Militer Inggris, Sandhurst. Dia pun menerima training militer di Athena, Yunani. Sebagai perwira muda, Khadafi aib menyaksikan negara Arab, yaitu Mesir, Suriah, dan Yordania, kalah perang dengan Israel di tiga front pada 1967. Dia semakin geram, alasannya Raja Idris I dari Libya, hanya berpangku tangan melihat sesama bangsa Arab dipermalukan Israel dalam Perang Enam Hari.

Peluang itu datang pada 1 September 1969. Saat itu, Raja Idris sedang ke Yunani untuk berobat. Muncul kabar, karena sering sakit-sakitan, Raja Idris akan lengser. Dia menyerahkan kekuasaan terhadap keponakannya, yang menjadi putra mahkota, Sayyid Hasan ar-Rida al-Mahdi as-Sanusi, atau Hasan as-Sanusi. Tanggal penyerahaan tahta dari Raja Idris terhadap Pangeran Hassan berjalan pada 2 September 1969. Sehari sebelum ritual penyerahan tahta, saat Idris masih di mancanegara, Khadafi bergerak. Dia menginformasikan di radio, Libya berada di tangan Dewan Revolusi yang mau menyelamatkan negara dari kekosongan kekuasaan.

Junta militer pimpinan Khadafi lalu menangkap kepala staf militer dan kepala keamanan, yang setia dengan Raja Idris. Sang Raja terhenyak. Dia tak mampu lagi pulang, hingga wafat di Mesir pada 1983. Stasiun berita BBC menceritakan bagaimana Khadafi, perwira 27 tahun tetapi telah berpangkat kolonel, secara cemerlang melaksanakan kudeta tak berdarah. “Kudeta itu hanya memuntahkan beberapa peluru,” tulis BBC.

Nasib calon raja yang batal, Hasan as-Sanusi lebih jelek. Dia menjadi tahanan rumah, dan sempat dipenjara selama tiga tahun pada 1971. Hasan dan keluarga diusir dari rumah mereka pada 1984. Hasan harus menggelandang di pantai, hingga diserang stroke. Khadafi mengizinkannya berobat ke London, Inggris. Hasan pun meninggal di sana. Dia dikuburkan di sebelah makam Raja Idris, di Madinah, Arab Saudi.

Setelah menyingkirkan kekuatan lama, pada permulaan berkuasa, rezim Khadafi melaksanakan pergeseran besar. Kerajaan Libya dibubarkan. Dia kemudian membentuk Republik Sosialis Arab, dengan nama resmi Republik Rakyat Sosialis Agung Jamahiriya Arab Libya.

Bendera nasional pun diganti, dari gabungan warna merah, hitam, dan hijau, dengan lambang bintang dan bulan sabit di tengah-tengah, menjadi warna hijau polos.

Khadafi pun tak menyatakan diri sebagai presiden atau raja. Dia menabalkan dirinya seorang “brother leader”, dan sang pemandu revolusi. Dia sempat menjabat perdana menteri selama 1970-1972. Sebagai pemimpin belia, Khadafi memperlihatkan terhadap bangsa Arab, perubahan radikal sedang bergerak di Libya.

Sistem pemerintahan Libya dirombak. Menurut kajian Library of Congress pada 1987 berjudul “Government and Politics of Libya”, Libya dipimpin dua pilar utama, yang disebut dengan sektor. Salah satu pilar, ialah “Sektor Revolusioner,” terdiri dari Khadafi sebagai pemimpin Revolusi, Komite Revolusi, dan Dewan Komando Revolusi, yang beranggotakan 12 orang. Mereka inilah inti kekuasaan di Libya sebab para komite dan dewan tidak dipilih, melainkan ditunjuk, serta tak ada era bakti.

Pilar lain adalah “Sektor Jamahiriyah”, yakni Kongres Rakyat mewakili 1.500 daerah, dan 32 anggota Kongres Rakyat Sha’biyat. Mereka dilihat sebagai lembaga legislatif. Para anggotanya diseleksi setiap empat tahun. Sejak 1972, rezim Khadafi melarang partai politik. Media massa nasional pun dibelenggu agar tidak “menyesatkan” rakyat dengan pemberitaan kritis terhadap pemerintah. Seperti Mao Zedong di China pada 1960an, Khadafi pada 1975 menerbitkan buku panduan ideologi bagi pejabat dan rakyat Libya. Dia menyebutkan sebagai “Kitab Hijau” (Green Book).

Terbit dalam bahasa Arab, Kitab Hijau menjabarkan tiga paham dasar, ialah “Demokrasi berdasarkan Kekuasaan Rakyat,” “Ekonomi Sosialisme” dan “Teori Internasional Ketiga.” Paham itu kemudian menjadi panduan bagi sistem demokrasi ala Khadafi, sekaligus bimbingan politik mancanegara Libya yang mengundang kontroversi. “Kitab Hijau” menolak demokrasi liberal ala Barat, dan mendorong tata cara demokrasi eksklusif menurut pembentukan komite-komite rakyat. Belakangan, tata cara ini dikritik sebagai cara Khadafi mengamankan kepentingannya di balik jargon mempekerjakan rakyat Libya.

Sikap anti Barat-nya kental. Dia menjadi sponsor gerakan anti imperialisme dan zionisme. Pada dekade 70an sampai 90an, Libya bahkan menjadi kawah pelatihan bagi kelompok radikal seperti Brigade Merah dari Jepang, “September Hitam” dari Palestina, MILF dari Filipina, dan IRA dari Irlandia Utara.

Mimpinya perihal Arab bersatu dipengaruhi ide Nasser. Khadafi berniat meneruskan Pan Arabisme yang dirintis presiden pertama Mesir itu. Maka, dua tahun sesudah Nasser wafat pada 18 September 1970, Khadafi menggagas pendirian “Federasi Republik-republik Arab,” mencakup Libya, Mesir, dan Suriah. Tapi ilham itu gagal. Dia mencoba lagi pada 1972, dengan menggandeng Tunisia, tetapi perjuangan itu kempis.

Ironisnya, gagasan itu bertentangan dengan tabiatnya yang suka tabrak dengan tetangga. Misalnya, pada 1969, tak lama sesudah ia berkuasa, Libya berperang dengan Chad. Menurut Gérard Prunier, penulis buku Darfur: a 21st century genocide, alasannya adalah dikala itu tak masuk nalar: gara-gara presiden Chad dikala itu seorang Nasrani, dan berkulit hitam. Perang Libya-Chad rampung pada 1994, lewat keputusan Mahkamah Pengadilan Internasional.

Muammar khadafi, diktator, libya, biografi, pemimpin

Selain itu, Libya pun sempat baku tembak dengan Mesir selama beberapa hari pada 1977. Soalnya, Khadafi kesal dengan manuver Presiden Mesir dikala itu, Anwar Sadat, yang berdamai dengan Israel, setelah keduanya terlibat Perang pada Oktober 1973. Khadafi memang anti-Israel. Dia bahkan jengkel dengan Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) pimpinan Yasser Arrafat. Pada 1995, Khadafi mengusir 30.000 warga Palestina dari Libya, sehabis setahun sebelumnya PLO menggelar akad damai dengan Israel.

Khadafi juga berang dengan Mesir, alasannya adalah melindungi dua perwira Libya pelaku planning kudeta atas dirinya pada 1975. Konflik Libya-Mesir yang berlangsung empat hari jadinya berakhir, setelah ditengahi oleh Aljazair. Dengan politik yang keras seperti itu Libya di bawah Khadafi alhasil menjadi sorotan. Dia dibenci Barat sebab mensponsori kelompok teroris. Dia dicap menjadi rezim berbahaya, alasannya dimengerti berbagi senjata penghancur massal untuk menandingi musuhnya di Barat.

Maka, tak aneh Presiden AS, Ronald Reagan, menjuluki dia sebagai “anjing abnormal”, yang membuat Reagan menghujani Tripoli dan Benghazi dengan serangan bom pada 14 April 1986. Serangan itu terjadi sehabis agen-distributor Libya dimengerti meledakkan sebuah klab malam di Berlin, Jerman, pada 5 April 1986. Insiden itu membunuh tiga orang, dan melukai 229 lainnya – lebih dari 50 orang diantaranya tentara Amerika.

Dua tahun kemudian, terjadi bencana peledakkan atas pesawat Pan American yang terbang di langit Lockerbie, Skotlandia. Ratusan penumpang dan awak pesawat tewas. Agen Libya dituduh terlibat dalam aksi keji itu. Setelah sempat menyangkal, rezim Khadafi belakangan mendapatkan tanggungjawab tragedi di Lockerbie, dan bersedia mengeluarkan uang uang duka terhadap keluarga semua korban.

Menurut catatan harian Telegraph, Tragedi Lockerbie tampaknya “petualangan terakhir” Khadafi dalam terorisme internasional. Pada dekade 1990-an, Libya mulai rujuk dengan Barat. Dia rupanya tak tahan hidup, terisolasi, dan banyak lawan, baik dari Barat maupun Arab.

Puncaknya pada 2003, saat Khadafi melucuti semua senjata penghancur massal milik Libya. Sejak dikala itu, kekerabatan Libya membaik, termasuk dengan AS. Bahkan semasa George W. Bush berkuasa, pada 2006 AS mengumumkan Libya tak lagi masuk daftar negara berbahaya. Proyek dan invetasi asing pun mulai mengalir kembali ke Libya.

Hingga Februari 2011, sebenarnya tak ada lagi berita sensasional ihwal Khadafi, dan rezimnya. Dia sepertinya tidak ingin cari gara-gara dengan dunia luar. Khadafi bahkan sesekali diundang ke Barat, dan berpidato di Sidang Majelis Umum PBB di New York pada 2009.

Khadafi pun dekat dengan mantan perdana menteri Inggris, Tony Blair. Dia dikabarkan tak lagi kesengsem pada nasionalisme Arab – setelah beberapa kali gagal merealisasikan persatuan Arab. Kini, perhatiannya pada solidarisme sesama negara Afrika. Itu sebabnya, sejumlah pemimpin Afrika mengangkat Khadafi selaku Ketua Uni Afrika kala 2009-2010.

Khadafi sekarang berusia 68 tahun, dan makin nyentrik. Dia, contohnya, tinggal di tenda setiap kali berkunjung ke luar negeri, dan senang dikelilingi banyak perempuan. Khadafi lebih senang dikawal pasukan khusus wanita.

Pada satu lawatan ke Italia beberapa tahun lalu, Khadafi menjamu ratusan perempuan setempat. Dia membujuk mereka menjadi mualaf. Laman spesialis pembocor rahasia diplomatik AS, WikiLeaks, juga mengungkapkan Khadafi punya perawat perempuan asal Ukraina, berbadan seksi, dan berambut pirang.

Wartawati senior BBC, Katie Adie, senantiasa teringat sifat nyentrik Khadafi. Saat bertemu untuk wawancara di Tripoli pada 1984, Khadafi memberi Adie dua buah buku, dan satu ucapan. “Buku pertama yakni Kitab Hijau, dan kedua yaitu Kitab Suci Al Quran. Setelah itu, dia berucap kepada saya, ‘Selamat Natal’,” kata Adie seperti ditulisnya di harian The Guardian.

Bagi pelopor di Libya, seperti Mohammed al-Abdalla, Khadafi yakni diktator yang brutal. “Era 70-an, dikala menghadapi gerakan mahasiswa, Khadafi terang-terangan menggantung para mahasiswa, yang berdemonstrasi di alun-alun Tripoli dan Benghazi,” ujar al-Abdalla, sekrektaris jenderal Front Nasional untuk Keselamatan Libya, mirip dikutip stasiun isu Al Jazeera.

“Dia melakukan hukuman, yang mungkin paling brutal pernah kami saksikan, atas 1.200 tahanan di penjara Abu Salim. Mereka telah dipenjara, lalu dihukum dalam waktu kurang dari tiga jam,” kata al-Abdalla. Kini, si kolonel tanpa urat takut, dan kadang ngawur itu, kembali tampil brutal. Sejak 15 Februari kemudian, ia menghabisi rakyat yang kini menentangnya. Akankah dia mendengar teriakan rakyat Libya itu?

Satu bekas menterinya yang membelot, Abdul Fattah Younis al Abidi, mengatakan Khadafi adalah pemimpin ‘keras kepala’. Abidi mengenal Khadafi semenjak 1964. Dia yakin, sang kolonel akan bertindak ekstrim. “Dia akan memilih bunuh diri, atau dibunuh,” kata Abidi.

Dalam bangunan Spring Arab bulan Februari 2011, suatu gerakan demonstrasi menentang Gaddafi menyebar di seluruh negeri. Gaddafi menyikapi dengan mengantarkan militer dan laki-laki bersenjata berpakaian preman di jalan-jalan untuk menyerang demonstran, tetapi banyak pihak diaktifkan. Gaddafi meninggalkan perang kerabat. Pada 23 Agustus 2011, Gaddafi kehilangan kendali Tripoli saat para pemberontak menangkap loyalisnya di Bab Al-Azizia. Pasukan loyalis Gaddafi berperang di lokasi yang terbatas.

Dia menghadapi penuntutan oleh Pengadilan Pidana Internasional yang telah mengeluarkan surat perintah penangkapan atas kejahatan terhadap kemanusiaan. Miliaran dolar asetnya sudah dibekukan di seluruh dunia.