Pembangkangan Joko Said kepada ayahnya mencapai puncaknya ketika beliau membongkar lumbung kadipaten dan membagi-bagikan padi dari dalam lumbung kepada rakyat Tuban yang saat itu dalam keadaan kelaparan akibat kemarau panjang.
Karena tindakannya itu, Ayahnya lalu ‘menggelar sidang’ untuk mengadili Joko Said dan menanyakan alasan perbuatannya. Kesempatan itu tidak disia-siakan oleh Joko Said untuk mengatakan pada ayahnya bahwa, sebab argumentasi ajaran agama, beliau sungguh menentang kebijakan ayahnya untuk menumpuk makanan di dalam lumbung sementara rakyatnya hidup dalam kemiskinan dan kelaparan.
Ayahnya tidak dapat menerima sebab ini karena menganggap Joko Said ingin mengguruinya dalam duduk perkara agama. Karena itu, Ayahnya kemudian mengusirnya keluar dari istana kadipaten seraya menyampaikan bahwa ia gres boleh pulang jika sudah bisa menggetarkan seisi Tuban dengan bacaan ayat-ayat suci Al Qur’an.
Maksud dari ‘menggetarkan seisi Tuban’ di sini adalah bilamana ia telah memiliki banyak ilmu agama dan diketahui luas penduduk sebab ilmunya.
Riwayat masyhur lalu menceritakan bahwa sehabis diusir dari istana kadipaten, Joko Said berkembang menjadi seorang perampok yang populer dan ditakuti di kawasan Jawa Timur. Sebagai Perampok, Joko Said selalu ‘menentukan’ korbannya dengan seksama. Ia hanya merampok orang kaya yang tidak mau mengeluarkan zakat dan sedekah.
Dari hasil rampokannya itu, sebagian besarnya senantiasa beliau bagi-bagikan terhadap orang miskin. Kisah ini mungkin mirip dengan cerita Robin Hood di Inggris. Namun itulah riwayat masyhur ihwal beliau. Diperkirakan dikala menjadi perampok inilah, beliau diberi gelar ‘Lokajaya’ artinya kurang lebih ‘Perampok Budiman’.
Semuanya berganti ketika Lokajaya alias Joko Said berjumpa dengan seorang ulama , Syekh Maulana Makhdum Ibrahim alias Sunan Bonang. Sunan Bonang inilah yang kemudian mernyadarkannya bahwa perbuatan baik tak dapat diawali dengan tindakan jelek –sesuatu yang haq tak dapat dicampuradukkan dengan sesuatu yang batil sehingga Joko Said alias Lokajaya bertobat dan berhenti menjadi perampok.
Joko Said lalu mencar ilmu terhadap Sunan Bonang sampai akhirnya diketahui selaku ulama dengan gelar ‘Sunan Kalijaga’.
Sejarah Nama ‘Kalijaga’
Pertanyaan ini masih menjadi misteri dan bahan silang pendapat di antara para pakar sejarah hingga hari ini. Masyarakat Cirebon berpendapat bahwa nama itu berasal dari dusun Kalijaga di Cirebon. Sunan Kalijaga memang pernah tinggal di Cirebon dan bersahabat dekat dengan Sunan Gunung Jati.
Ini dihubungkan dengan kebiasaan wong Cerbon untuk menggelari seseorang dengan daerah asalnya –mirip gelar Sunan Gunung Jati untuk Syekh Syarif Hidayatullah, sebab dia tinggal di kaki Gunung Jati.
Fakta menunjukan bahwa ternyata tidak ada ‘kali’ di sekeliling dusun Kalijaga sebagai ciri khas dusun itu. Padahal, kawasan-daerah di Jawa biasanya dinamai dengan sesuatu yang menjadi ciri khas tempat itu. Misalnya nama Cirebon yang disebabkan banyaknya rebon (udang), atau nama Pekalongan karena banyaknya kalong (Kelelawar).
Logikanya, nama ‘Dusun Kalijaga’ itu justru timbul setelah Sunan Kalijaga sendiri tinggal di dusun itu. Karena itu, klaim Masyarakat Cirebon ini kurang mampu diterima.
Riwayat lain datang dari kelompok Jawa Mistik (Kejawen). Mereka mengaitkan nama ini dengan kesukaan wali ini berendam di sungai (kali) sehingga nampak seperti orang yang sedang “jaga kali”. Riwayat Kejawen yang lain menyebut nama ini timbul karena Joko Said pernah disuruh bertapa di tepi kali oleh Sunan Bonang selama sepuluh tahun.
Pendapat yang terakhir ini yang paling terkenal. Pendapat Ini bahkan diangkat dalam film ‘Sunan Kalijaga’ dan ‘Walisongo’ pada tahun 80-an. Saya sendiri kurang sepaham dengan kedua pendapat ini.
Secara sintaksis, dalam tata bahasa-bahasa di Pulau Jawa (Sunda dan Jawa) dan segala dialeknya, kalau ada frase yang menempatkan kata benda di depan kata kerja, itu mempunyai arti bahwa kata benda tersebut berlaku selaku subjek yang menjadi pelaku dari kata kerja yang mengikutinya. Sehingga jika ada frase ‘kali jaga’ atau ‘kali jogo’ bermakna ada ‘suatu kali yang menjaga sesuatu’.
Ini pasti sangat janggal dan tidak masuk nalar. Bila benar bahwa nama itu diperoleh dari kebiasaan Sang Sunan kungkum di kali atau sebab beliau pernah menjaga suatu kali selama sepuluh tahun non-stop (mirip dalam film), maka semestinya namanya ialah “Sunan Jogo Kali” atau “Sunan Jaga Kali”.
Kemudian secara nalar, silakan anda pertimbangkan masak-masak. Mungkinkah seorang da’i menghabiskan waktu dengan kungkum-kungkum di sungai sehari penuh? Tentu saja tidak. Sebagai da’i yang menyayangi Islam dan Syi’ar-nya, pasti ada banyak hal memiliki kegunaan yang mampu beliau kerjakan.
Riwayat Kejawen bahwa beliau bertapa selama sepuluh tahun non-stop di pinggir kali juga merupakan riwayat yang tidak masuk nalar. Bagaimana mampu seorang ulama saleh terus-menerus bertapa tanpa melaksanakan shalat, puasa, bahkan tanpa makan dan minum? Karena itu, dalam pendapat saya, kedua riwayat itu yaitu riwayat batil dan tidak bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Fakta Nama ‘Kalijaga’
Pendapat yang paling masuk logika yaitu bahwa sebetulnya nama ‘kalijaga’ berasal dari bahasa Arab “Qadli’ dan nama aslinya sendiri, ‘Joko Said’, jadi frase asalnya ialah ‘Qadli Joko Said’ (Artinya Hakim Joko Said). Sejarah mencatat bahwa ketika Wilayah (Perwalian) Demak diresmikan tahun 1478, dia diserahi peran sebagai Qadli (hakim) di Demak oleh Wali Demak dikala itu, Sunan Giri.
Masyarakat Jawa memiliki riwayat kuat dalam hal ‘penyimpangan’ pelafalan kata-kata Arab, misalnya perumpamaan Sekaten (dari ‘Syahadatain’), Kalimosodo (dari ‘Kalimah Syahadah’), Mulud (dari Maulid), Suro (dari Syura’), Dulkangidah (dari Dzulqaidah), dan masih banyak perumpamaan lainnya. Maka tak aneh kalau frase “Qadli Joko” kemudian tersimpangkan menjadi ‘Kalijogo’ atau ‘Kalijaga’.
Posisi Qadli yang dijabat oleh Kalijaga alias joko Said ialah bukti bahwa Demak merupakan sebuah kawasan pemerintahan yang melaksanakan Syariah Islam. Ini diperkuat oleh kedudukan Sunan Giri sebagai Wali di Demak. Istilah ‘Qadli’ dan ‘Wali’ ialah nama-nama jabatan di dalam Negara Islam. Dari sini sajasudah terperinci, siapa Sunan Kalijaga sebenarnya; dia adalahseorang Qadli, bukan praktisi Kejawenisme.
Da’wah Sunan Kalijaga ialah Da’wah Islam, Bukan Da’wah Kejawen atau Sufi-Pantheistik
Kita kembali ke Sunan Kalijaga alias Sunan Qadli Joko. Riwayat masyhur mengisahkan bahwa periode hidup Sunan Kalijaga diperkirakan mencapai lebih dari 100 tahun. Ini memiliki arti bahwa ia mengalami era akhir kekuasaan Majapahit pada 1478, Kesultanan Demak, Kesultanan Cirebon, Kesultanan Banten, bahkan hingga Kerajaan Pajang (lahir pada 1546) serta permulaan kedatangan Kerajaan Mataram. Bila riwayat ini benar, maka kehidupan Sunan Kalijaga adalah sebuah kurun kehidupan yang panjang.
Manuskrip-manuskrip dan babad-babad tua ternyata cuma menyebut-nyebut nama ia sampai zaman Kesultanan Cirebon saja, yakni sampai ketika beliau berdomisili di dusun Kalijaga. Dalam kisah-dongeng pendirian Kerajaan Pajang oleh Jaka Tingkir dan Kerajaan Mataram oleh Panembahan Senopati, namanya tak lagi disebut-sebut.
Logikanya adalah, jika saat itu beliau masih hidup, pasti dia akan dilibatkan dalam persoalan imamah di Pulau Jawa sebab pengaruhnya yang luas di tengah penduduk Jawa.
Fakta pertanda bahwa makamnya berada di Kadilangu, erat Demak, bukan di Pajang atau di tempat Mataram (Yogyakarta dan sekitarnya) –daerah-kawasan di mana Kejawen berkembang subur. Perkiraan aku, ia sudah wafat dikala Demak masih bangun.
Riwayat-riwayat yang batil banyak menceritakan dongeng-cerita ajaib ihwal Sunan Kalijaga –selain dongeng pertapaan sepuluh tahun di tepi sungai. Beberapa kisah gila itu antara lain, bahwa ia bisa melayang, mampu menurunkan hujan dengan hentakan kaki, mengurung petir bernama Ki Ageng Selo di dalam Masjid Demak dan cerita-dongeng lain yang kalau kita pikirkan dengan nalar sehat non intelek tidak mungkin bisa masuk ke dalam otak manusia. Kisah-dongeng gila macam itu cuma mampu dipercaya oleh orang asing yang gemar sihir.
Ajaran Sunan Kalijaga terkesan sinkretis dan berbau Hindu-Budha serta Kejawen. Padahal fakta wacana kehidupan Sunan Kalijaga yakni Da’wah dan Syi’ar Islam yang indah. Buktinya sangat aneka macam. Sunan Kalijaga yaitu perancang pembangunan Masjid Agung Cirebon dan Masjid Agung Demak.
Tiang “tatal” (penggalan kayu) yang ialah salah satu dari tiang utama masjid adalah kreasi peninggalan Sunan Kalijaga. Mana mungkin seorang kejawen mahir gaib mau-maunya mendirikan Masjid yang terperinci-jelas merupakan kawasan peribadatan Islam.
Paham keagamaan Sunan Kalijaga yaitu salafi –bukan sufi-panteistik ala Kejawen yang ber-motto-kan ‘Manunggaling Kawula Gusti’. Ini terbukti dari perilaku tegas dia yang ikut berada dalam barisan Sunan Giri ketika terjadi sengketa dalam dilema ‘kekafiran’ Syekh Siti Jenar dengan ajarannya bahwa insan dan Tuhan bersatu dalam dzat yang serupa.
Kesenian dan kebudayaan hanyalah fasilitas yang dipilih Sunan Kalijaga dalam berdakwah. Beliau memang sungguh toleran pada budaya lokal. Namun beliau pun punya perilaku tegas dalam problem dogma. Selama budaya masih bersifat transitif dan tidak berlawanan dengan fatwa Islam, ia menerimanya.
Wayang beber antik ala Jawa yang mencitrakan gambar manusia secara detail dirubahnya menjadi wayang kulit yang samar dan tidak terlampau mirip dengan gambaran insan, alasannya pengetahuannya bahwa menggambar dan mencitrakan sesuatu yang seperti insan dalam anutan Islam adalah haram hukumnya.
Cerita yang meningkat mengisahkan bahwa ia sering bepergian keluar-masuk kampung hanya untuk menggelar pertunjukan wayang kulit dengan beliau sendiri sebagai dalangnya. Semua yang melihat pertunjukan wayangnya tidak dimintai bayaran, cuma diminta mengucap dua kalimah syahadat. Beliau beropini bahwa penduduk mesti didekati secara sedikit demi sedikit.
Pertama berislam dulu dengan syahadat berikutnya meningkat dalam sisi-sisi ibadah dan wawasan Islamnya. Sunan Kalijaga berkeyakinan bahwa kalau Islam sudah dimengerti, dengan sendirinya kebiasaan usang hilang. Lakon-lakon yang dibawakan Sunan Kalijaga dalam pagelaran-pagelarannya bukan lakon-lakon Hindu macam Mahabharata, Ramayana, dan yang lain. Walau tokoh-tokoh yang digunakannya sama (Pandawa, Kurawa, dll.).
Beliau menggubah sendiri lakon-lakonnya, misalnya Layang Kalimasada, Lakon Petruk Makara Raja yang semuanya mempunyai ruh Islam yang besar lengan berkuasa. Karakter-karakter wayang yang dibawakannya pun ia tambah dengan aksara-huruf gres yang memiliki nafas Islam. Misalnya, aksara Punakawan yang terdiri atas Semar, Bagong, Petruk, dan Gareng yaitu aksara yang penuhdengan muatan Keislaman.
Adapun Istilah dalam Pewayangan merujuk pada Bahasa Arab :
- Istilah ‘Dalang’ berasal dari bahasa Arab, ‘Dalla’ yang artinya memberikan. Dalam hal ini, seorang ‘Dalang’ ialah seseorang yang ‘menawarkan kebenaran terhadap para penonton wayang’. Mandalla’alal Khari Kafa’ilihi (Barangsiapa membuktikan jalan kebenaran atau kebajikan terhadap orang lain, pahalanya sama dengan pelaku kebajikan itu sendiri –Sahih Bukhari)
- Karakter ‘Semar’ diambil dari bahasa Arab, ‘Simaar’ yang artinya Paku. Dalam hal ini, seorang Muslim memiliki pendirian dan doktrin yang kokoh bagai paku yang tertancap, Simaaruddunyaa.
- Karakter ‘Petruk’ diambil dari bahasa Arab, ‘Fat-ruuk’ yang artinya ‘tingggalkan’. Maksudnya, seorang Muslim meninggalkan segala penyembahan kepada selain Allah, Fatruuk-kuluu man siwallaahi.
- Karakter ‘Gareng’ diambil dari bahasa Arab, ‘Qariin’ yang artinya ‘sobat’. Maksudnya, seorang Muslim selalu berusaha mencari sahabat sebanyak-banyaknya untuk diajak ke arah kebaikan, Nalaa Qaarin.
- Karakter ‘Bagong’ diambil dari bahasa Arab, ‘Baghaa’ yang artinya ‘berontak’. Maksudnya, seorang Muslim selalu berontak saat melihat kezaliman.
Seni ukir, wayang, gamelan, baju takwa, perayaan sekatenan, grebeg maulud, serta seni bunyi suluk yang diciptakannya ialah sarana dakwah semata, bukan budaya yang perlu ditradisikan sampai berkarat dalam kalbu dan dinilai selaku ibadah mahdhah. Beliau menatap semua itu selaku sistem semata, tata cara dakwah yang sangat efektif pada zamannya.
Secara filosofis, ini sama dengan da’wah Rasulullah SAW yang mengandalkan keindahan syair Al Qur’an sebagai sistem da’wah yang efektif dalam menaklukkan hati suku-suku Arab yang gemar berdeklamasi.
Tak dapat disanggah bahwa kebiasaan keluar-masuk kampung dan menunjukkan hiburan gratis pada rakyat, lewat aneka macam pertunjukan seni, pun mempunyai nilai filosofi yang sama dengan aktivitas yang biasa dikerjakan Khalifah Umar ibn Khattab r.a. yang suka keluar-masuk perkampungan untuk memantau umat dan memberikan hiburan langsung terhadap rakyat yang membutuhkannya.
Persamaan ini memperkuat bukti bahwa Sunan Kalijaga yaitu pemimpin umat yang mempunyai huruf, ciri, dan sifat kepemimpinan yang umum dimiliki para pemimpin Islam sejati, bukan jago Kejawen.