TintaTeras

Biografi Marie Tussaud – Madame Tussaud

Biodata,  Biografi,  Biografi Tokoh Dunia,  Feed,  Profil,  Sejarah,  Tokoh Wanita

Biografi Madame Tussaud. Marie Tussaud atau yang lebih diketahui dengan nama Madame Tussaud yang lahir tahun  1761 dan wafat tahun 1850). Ia merupakan pembuat patung lilin terkenal di dunia. Museumnya berisi patung-patung lilin tokoh terkenal di dunia. Ia lahir dengan nama asli Marie Grosholtz di Strasbourg, Perancis. Ibunya melakukan pekerjaan selaku pembantu rumah tangga untuk Dr. Phillippe Curtius, seorang dokter yang jago dalam pembuatan patung lilin. Curtius mendidik Tussaud dalam seni patung lilin. Di tahun 1765, Curtius membuat patung lilin Marie-Jeanne du Barry, selir dari Raja Louis XV dari Perancis. Cetakan dari patung tersebut ialah benda tertua yang masih ada dari sejarah museum patung lilin ini.

Pameran pertama dari karya lilin Curtius diadakan tahun 1770 dan menarik minatbanyak orang. Pameran tersebut pindah ke Palais Royal di Paris pada tahun 1776. Curtius membuka daerah kedua untuk karya-karyanya ini di Boulevard du Temple pada tahun 1782 dengan nama “Caverne des Frands Voleurs”, asal muasal dari bab museum yang diketahui dikala ini selaku Chamber of Horrors (arti harafiah Kamar Horor).

Tussaud menciptakan patung lilin pertamanya, yaitu patung Francois Marie Arouet de Voltaire, atau yang lebih dikenal hanya dengan Voltaire, di tahun 1777. Tokoh-tokoh populer yang lain yang dipatungkannya antara lain Jean Jacques Rousseau dan Benjamin Franklin. Selama Revolusi Perancis dia menciptakan epilog wajah jenasah bagi para tokoh yang menjadi korban. Ia rela untuk mencari kepala-kepala para korban yang terputus ini di tengah-tengah timbunan jenasah agar bisa menyelesaikan epilog tampang jenasah ini dengan tepat.

Ketika Curtius meninggal di tahun 1794, dia meninggalkan koleksi patung-patung lilinnya pada Tussaud. di tahun 1802, Marie Tussaud pindah ke London. Sebagai konsekwensi Perang Inggris-Perancis, ia tidak bisa kembali ke Perancis sehingga untuk hidup ia harus berkeliling Inggris dan Irlandia memamerkan karya-karyanya. Sekali waktu karya-karyanya itu pernah dipamerkan di Lyceum Theatre. Ia kesannya mempunyai tempat pameran permanen buat karya-karyanya di Baker Street, London, di tahun 1835 (di tempat yang disebut “Baker Street Bazaar”).

Salah satu atraksi utama museum Tussaud yaitu “The Chamber of Horrors”. Bagian eksibisi ini memperlihatkan sebagian korban Revolusi Perancis dan juga patung-patung para pembunuh dan penjahat lainnya. Nama ruangan ini diberikan oleh seseorang dalam majalah Punch di tahun 1845.

Tokoh-tokoh terkenal lain kemudian mulai ditambahkan dalam ruang pameran, termasuk Horatio Nelson dan Sir Walter Scott. Beberapa patung lilin yang dibuat oleh Tussaud sendiri masih ada sampai hari ini. Di tahun 1842, dia menciptakan patung lilin dirinya sendiri yang sekarang dipajang di pintu masuk utama museumnya.

Museum Madame Tussaud pindah ke alamatnya sekarang di Marylebone Road pada tahun 1884. Di tahun 1925 kebakaran menghancurkan banyak dari patung-patung yang ada, namun cetakan-cetakan mereka berhasil diselamatkan sehingga patung-patung lilin bersejarah tersebut mampu dibuat lagi. Kini, museum lilin Madame Tussaud telah bermetamorfosis suatu tujuan rekreasi di London, berdampingan (hingga baru-gres ini) dengan London Planetarium di sisi baratnya. Museum ini sudah mempunyai cabang di Amsterdam, Las Vegas, New York City, Hongkong, Shanghai, Hollywood-Los Angeles, dan Washington D.C. Saat ini, patung-patung lilin Madame Tussauds terdiri atas tokoh-tokoh sejarah, keluarga kerajaan, pemeran, atlet populer dan tokoh-tokoh kriminal yang populer. Museum Madame Tussauds kini dimiliki oleh suatu perusahaan wisata bernama Merlin Entertainments sehabis mengakuisisi Tussauds Group pada bulan Mei 2007. TintaTeras.com

Biografi Sunan Kalijaga

Biodata,  Biografi,  Biografi Tokoh Indonesia,  Biografi Tokoh Islam,  Feed,  Profil,  Sejarah

Profil dan Biografi Sunan Kalijaga. Nama aslinya yakni Joko Said yang dilahirkan sekitar tahun 1450 M. Ayahnya yaitu Arya Wilatikta, Adipati Tuban. Arya Wilatikta ini ialah keturunan dari pemberontak legendaris Majapahit, Ronggolawe. Riwayat masyhur mengatakan bahwa Adipati Arya Wilatikta sudah memeluk Islam semenjak sebelum lahirnya Joko Said. Namun sebagai Muslim, ia dikenal kejam dan sungguh taklid terhadap pemerintahan pusat Majapahit yang menganut Agama Hindu. Ia menetapkan pajak tinggi kepada rakyat. Joko Said muda yang tidak setuju pada segala kebijakan Ayahnya selaku Adipati sering membangkang pada kebijakan-kebijakan ayahnya.

Pembangkangan Joko Said kepada ayahnya mencapai puncaknya ketika beliau membongkar lumbung kadipaten dan membagi-bagikan padi dari dalam lumbung kepada rakyat Tuban yang saat itu dalam keadaan kelaparan akibat kemarau panjang.

Karena tindakannya itu, Ayahnya lalu ‘menggelar sidang’ untuk mengadili Joko Said dan menanyakan alasan perbuatannya. Kesempatan itu tidak disia-siakan oleh Joko Said untuk mengatakan pada ayahnya bahwa, sebab argumentasi ajaran agama, beliau sungguh menentang kebijakan ayahnya untuk menumpuk makanan di dalam lumbung sementara rakyatnya hidup dalam kemiskinan dan kelaparan.

Ayahnya tidak dapat menerima sebab ini karena menganggap Joko Said ingin mengguruinya dalam duduk perkara agama. Karena itu, Ayahnya kemudian mengusirnya keluar dari istana kadipaten seraya menyampaikan bahwa ia gres boleh pulang jika sudah bisa menggetarkan seisi Tuban dengan bacaan ayat-ayat suci Al Qur’an.

Maksud dari ‘menggetarkan seisi Tuban’ di sini adalah bilamana ia telah memiliki banyak ilmu agama dan diketahui luas penduduk sebab ilmunya.

Riwayat masyhur lalu menceritakan bahwa sehabis diusir dari istana kadipaten, Joko Said berkembang menjadi seorang perampok yang populer dan ditakuti di kawasan Jawa Timur. Sebagai Perampok, Joko Said selalu ‘menentukan’ korbannya dengan seksama. Ia hanya merampok orang kaya yang tidak mau mengeluarkan zakat dan sedekah.

Dari hasil rampokannya itu, sebagian besarnya senantiasa beliau bagi-bagikan terhadap orang miskin. Kisah ini mungkin mirip dengan cerita Robin Hood di Inggris. Namun itulah riwayat masyhur ihwal beliau. Diperkirakan dikala menjadi perampok inilah, beliau diberi gelar ‘Lokajaya’ artinya kurang lebih ‘Perampok Budiman’.

Semuanya berganti ketika Lokajaya alias Joko Said berjumpa dengan seorang ulama , Syekh Maulana Makhdum Ibrahim alias Sunan Bonang. Sunan Bonang inilah yang kemudian mernyadarkannya bahwa perbuatan baik tak dapat diawali dengan tindakan jelek –sesuatu yang haq tak dapat dicampuradukkan dengan sesuatu yang batil sehingga Joko Said alias Lokajaya bertobat dan berhenti menjadi perampok.

Joko Said lalu mencar ilmu terhadap Sunan Bonang sampai akhirnya diketahui selaku ulama dengan gelar ‘Sunan Kalijaga’.

Sejarah Nama ‘Kalijaga’

Pertanyaan ini masih menjadi misteri dan bahan silang pendapat di antara para pakar sejarah hingga hari ini. Masyarakat Cirebon berpendapat bahwa nama itu berasal dari dusun Kalijaga di Cirebon. Sunan Kalijaga memang pernah tinggal di Cirebon dan bersahabat dekat dengan Sunan Gunung Jati.

Ini dihubungkan dengan kebiasaan wong Cerbon untuk menggelari seseorang dengan daerah asalnya –mirip gelar Sunan Gunung Jati untuk Syekh Syarif Hidayatullah, sebab dia tinggal di kaki Gunung Jati.

Fakta menunjukan bahwa ternyata tidak ada ‘kali’ di sekeliling dusun Kalijaga sebagai ciri khas dusun itu. Padahal, kawasan-daerah di Jawa biasanya dinamai dengan sesuatu yang menjadi ciri khas tempat itu. Misalnya nama Cirebon yang disebabkan banyaknya rebon (udang), atau nama Pekalongan karena banyaknya kalong (Kelelawar).

Logikanya, nama ‘Dusun Kalijaga’ itu justru timbul setelah Sunan Kalijaga sendiri tinggal di dusun itu. Karena itu, klaim Masyarakat Cirebon ini kurang mampu diterima.

Riwayat lain datang dari kelompok Jawa Mistik (Kejawen). Mereka mengaitkan nama ini dengan kesukaan wali ini berendam di sungai (kali) sehingga nampak seperti orang yang sedang “jaga kali”. Riwayat Kejawen yang lain menyebut nama ini timbul karena Joko Said pernah disuruh bertapa di tepi kali oleh Sunan Bonang selama sepuluh tahun.

Pendapat yang terakhir ini yang paling terkenal. Pendapat Ini bahkan diangkat dalam film ‘Sunan Kalijaga’ dan ‘Walisongo’ pada tahun 80-an. Saya sendiri kurang sepaham dengan kedua pendapat ini.

Secara sintaksis, dalam tata bahasa-bahasa di Pulau Jawa (Sunda dan Jawa) dan segala dialeknya, kalau ada frase yang menempatkan kata benda di depan kata kerja, itu mempunyai arti bahwa kata benda tersebut berlaku selaku subjek yang menjadi pelaku dari kata kerja yang mengikutinya. Sehingga jika ada frase ‘kali jaga’ atau ‘kali jogo’ bermakna ada ‘suatu kali yang menjaga sesuatu’.

Ini pasti sangat janggal dan tidak masuk nalar. Bila benar bahwa nama itu diperoleh dari kebiasaan Sang Sunan kungkum di kali atau sebab beliau pernah menjaga suatu kali selama sepuluh tahun non-stop (mirip dalam film), maka semestinya namanya ialah “Sunan Jogo Kali” atau “Sunan Jaga Kali”.

Kemudian secara nalar, silakan anda pertimbangkan masak-masak. Mungkinkah seorang da’i menghabiskan waktu dengan kungkum-kungkum di sungai sehari penuh? Tentu saja tidak. Sebagai da’i yang menyayangi Islam dan Syi’ar-nya, pasti ada banyak hal memiliki kegunaan yang mampu beliau kerjakan.

Riwayat Kejawen bahwa beliau bertapa selama sepuluh tahun non-stop di pinggir kali juga merupakan riwayat yang tidak masuk nalar. Bagaimana mampu seorang ulama saleh terus-menerus bertapa tanpa melaksanakan shalat, puasa, bahkan tanpa makan dan minum? Karena itu, dalam pendapat saya, kedua riwayat itu yaitu riwayat batil dan tidak bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

Fakta Nama ‘Kalijaga’

Pendapat yang paling masuk logika yaitu bahwa sebetulnya nama ‘kalijaga’ berasal dari bahasa Arab “Qadli’ dan nama aslinya sendiri, ‘Joko Said’, jadi frase asalnya ialah ‘Qadli Joko Said’ (Artinya Hakim Joko Said). Sejarah mencatat bahwa ketika Wilayah (Perwalian) Demak diresmikan tahun 1478, dia diserahi peran sebagai Qadli (hakim) di Demak oleh Wali Demak dikala itu, Sunan Giri.

Masyarakat Jawa memiliki riwayat kuat dalam hal ‘penyimpangan’ pelafalan kata-kata Arab, misalnya perumpamaan Sekaten (dari ‘Syahadatain’), Kalimosodo (dari ‘Kalimah Syahadah’), Mulud (dari Maulid), Suro (dari Syura’), Dulkangidah (dari Dzulqaidah), dan masih banyak perumpamaan lainnya. Maka tak aneh kalau frase “Qadli Joko” kemudian tersimpangkan menjadi ‘Kalijogo’ atau ‘Kalijaga’.

Posisi Qadli yang dijabat oleh Kalijaga alias joko Said ialah bukti bahwa Demak merupakan sebuah kawasan pemerintahan yang melaksanakan Syariah Islam. Ini diperkuat oleh kedudukan Sunan Giri sebagai Wali di Demak. Istilah ‘Qadli’ dan ‘Wali’ ialah nama-nama jabatan di dalam Negara Islam. Dari sini sajasudah terperinci, siapa Sunan Kalijaga sebenarnya; dia adalahseorang Qadli, bukan praktisi Kejawenisme.

Da’wah Sunan Kalijaga ialah Da’wah Islam, Bukan Da’wah Kejawen atau Sufi-Pantheistik

Kita kembali ke Sunan Kalijaga alias Sunan Qadli Joko. Riwayat masyhur mengisahkan bahwa periode hidup Sunan Kalijaga diperkirakan mencapai lebih dari 100 tahun. Ini memiliki arti bahwa ia mengalami era akhir kekuasaan Majapahit pada 1478, Kesultanan Demak, Kesultanan Cirebon, Kesultanan Banten, bahkan hingga Kerajaan Pajang (lahir pada 1546) serta permulaan kedatangan Kerajaan Mataram. Bila riwayat ini benar, maka kehidupan Sunan Kalijaga adalah sebuah kurun kehidupan yang panjang.

Manuskrip-manuskrip dan babad-babad tua ternyata cuma menyebut-nyebut nama ia sampai zaman Kesultanan Cirebon saja, yakni sampai ketika beliau berdomisili di dusun Kalijaga. Dalam kisah-dongeng pendirian Kerajaan Pajang oleh Jaka Tingkir dan Kerajaan Mataram oleh Panembahan Senopati, namanya tak lagi disebut-sebut.

Logikanya adalah, jika saat itu beliau masih hidup, pasti dia akan dilibatkan dalam persoalan imamah di Pulau Jawa sebab pengaruhnya yang luas di tengah penduduk Jawa.

Fakta pertanda bahwa makamnya berada di Kadilangu, erat Demak, bukan di Pajang atau di tempat Mataram (Yogyakarta dan sekitarnya) –daerah-kawasan di mana Kejawen berkembang subur. Perkiraan aku, ia sudah wafat dikala Demak masih bangun.

Riwayat-riwayat yang batil banyak menceritakan dongeng-cerita ajaib ihwal Sunan Kalijaga –selain dongeng pertapaan sepuluh tahun di tepi sungai. Beberapa kisah gila itu antara lain, bahwa ia bisa melayang, mampu menurunkan hujan dengan hentakan kaki, mengurung petir bernama Ki Ageng Selo di dalam Masjid Demak dan cerita-dongeng lain yang kalau kita pikirkan dengan nalar sehat non intelek tidak mungkin bisa masuk ke dalam otak manusia. Kisah-dongeng gila macam itu cuma mampu dipercaya oleh orang asing yang gemar sihir.

Ajaran Sunan Kalijaga terkesan sinkretis dan berbau Hindu-Budha serta Kejawen. Padahal fakta wacana kehidupan Sunan Kalijaga yakni Da’wah dan Syi’ar Islam yang indah. Buktinya sangat aneka macam. Sunan Kalijaga yaitu perancang pembangunan Masjid Agung Cirebon dan Masjid Agung Demak.

Tiang “tatal” (penggalan kayu) yang ialah salah satu dari tiang utama masjid adalah kreasi peninggalan Sunan Kalijaga. Mana mungkin seorang kejawen mahir gaib mau-maunya mendirikan Masjid yang terperinci-jelas merupakan kawasan peribadatan Islam.

Paham keagamaan Sunan Kalijaga yaitu salafi –bukan sufi-panteistik ala Kejawen yang ber-motto-kan ‘Manunggaling Kawula Gusti’. Ini terbukti dari perilaku tegas dia yang ikut berada dalam barisan Sunan Giri ketika terjadi sengketa dalam dilema ‘kekafiran’ Syekh Siti Jenar dengan ajarannya bahwa insan dan Tuhan bersatu dalam dzat yang serupa.

Kesenian dan kebudayaan hanyalah fasilitas yang dipilih Sunan Kalijaga dalam berdakwah. Beliau memang sungguh toleran pada budaya lokal. Namun beliau pun punya perilaku tegas dalam problem dogma. Selama budaya masih bersifat transitif dan tidak berlawanan dengan fatwa Islam, ia menerimanya.

Wayang beber antik ala Jawa yang mencitrakan gambar manusia secara detail dirubahnya menjadi wayang kulit yang samar dan tidak terlampau mirip dengan gambaran insan, alasannya pengetahuannya bahwa menggambar dan mencitrakan sesuatu yang seperti insan dalam anutan Islam adalah haram hukumnya.

Cerita yang meningkat mengisahkan bahwa ia sering bepergian keluar-masuk kampung hanya untuk menggelar pertunjukan wayang kulit dengan beliau sendiri sebagai dalangnya. Semua yang melihat pertunjukan wayangnya tidak dimintai bayaran, cuma diminta mengucap dua kalimah syahadat. Beliau beropini bahwa penduduk mesti didekati secara sedikit demi sedikit.

Pertama berislam dulu dengan syahadat berikutnya meningkat dalam sisi-sisi ibadah dan wawasan Islamnya. Sunan Kalijaga berkeyakinan bahwa kalau Islam sudah dimengerti, dengan sendirinya kebiasaan usang hilang. Lakon-lakon yang dibawakan Sunan Kalijaga dalam pagelaran-pagelarannya bukan lakon-lakon Hindu macam Mahabharata, Ramayana, dan yang lain. Walau tokoh-tokoh yang digunakannya sama (Pandawa, Kurawa, dll.).

Beliau menggubah sendiri lakon-lakonnya, misalnya Layang Kalimasada, Lakon Petruk Makara Raja yang semuanya mempunyai ruh Islam yang besar lengan berkuasa. Karakter-karakter wayang yang dibawakannya pun ia tambah dengan aksara-huruf gres yang memiliki nafas Islam. Misalnya, aksara Punakawan yang terdiri atas Semar, Bagong, Petruk, dan Gareng yaitu aksara yang penuhdengan muatan Keislaman.

Adapun Istilah dalam Pewayangan merujuk pada Bahasa Arab :

  1. Istilah ‘Dalang’ berasal dari bahasa Arab, ‘Dalla’ yang artinya memberikan. Dalam hal ini, seorang ‘Dalang’ ialah seseorang yang ‘menawarkan kebenaran terhadap para penonton wayang’. Mandalla’alal Khari Kafa’ilihi (Barangsiapa membuktikan jalan kebenaran atau kebajikan terhadap orang lain, pahalanya sama dengan pelaku kebajikan itu sendiri –Sahih Bukhari)
  2. Karakter ‘Semar’ diambil dari bahasa Arab, ‘Simaar’ yang artinya Paku. Dalam hal ini, seorang Muslim memiliki pendirian dan doktrin yang kokoh bagai paku yang tertancap, Simaaruddunyaa.
  3. Karakter ‘Petruk’ diambil dari bahasa Arab, ‘Fat-ruuk’ yang artinya ‘tingggalkan’. Maksudnya, seorang Muslim meninggalkan segala penyembahan kepada selain Allah, Fatruuk-kuluu man siwallaahi.
  4. Karakter ‘Gareng’ diambil dari bahasa Arab, ‘Qariin’ yang artinya ‘sobat’. Maksudnya, seorang Muslim selalu berusaha mencari sahabat sebanyak-banyaknya untuk diajak ke arah kebaikan, Nalaa Qaarin.
  5. Karakter ‘Bagong’ diambil dari bahasa Arab, ‘Baghaa’ yang artinya ‘berontak’. Maksudnya, seorang Muslim selalu berontak saat melihat kezaliman.

Seni ukir, wayang, gamelan, baju takwa, perayaan sekatenan, grebeg maulud, serta seni bunyi suluk yang diciptakannya ialah sarana dakwah semata, bukan budaya yang perlu ditradisikan sampai berkarat dalam kalbu dan dinilai selaku ibadah mahdhah. Beliau menatap semua itu selaku sistem semata, tata cara dakwah yang sangat efektif pada zamannya.

Secara filosofis, ini sama dengan da’wah Rasulullah SAW yang mengandalkan keindahan syair Al Qur’an sebagai sistem da’wah yang efektif dalam menaklukkan hati suku-suku Arab yang gemar berdeklamasi.

Tak dapat disanggah bahwa kebiasaan keluar-masuk kampung dan menunjukkan hiburan gratis pada rakyat, lewat aneka macam pertunjukan seni, pun mempunyai nilai filosofi yang sama dengan aktivitas yang biasa dikerjakan Khalifah Umar ibn Khattab r.a. yang suka keluar-masuk perkampungan untuk memantau umat dan memberikan hiburan langsung terhadap rakyat yang membutuhkannya.

Persamaan ini memperkuat bukti bahwa Sunan Kalijaga yaitu pemimpin umat yang mempunyai huruf, ciri, dan sifat kepemimpinan yang umum dimiliki para pemimpin Islam sejati, bukan jago Kejawen.

Biografi Sunan Kudus

Biodata,  Biografi,  Biografi Tokoh Indonesia,  Feed,  Profil,  Profil dan Biografi Tokoh Nasional Indonesia,  Sejarah

Biografi Sunan Kudus. Nama kecilnya Jaffar Shadiq. Ia putra pasangan Sunan Ngudung dan Syarifah (adik Sunan Bonang), anak Nyi Ageng Maloka. Disebutkan bahwa Sunan Ngudung ialah salah seorang putra Sultan di Mesir yang berkelana sampai di Jawa. Di Kesultanan Demak, beliau pun diangkat menjadi Panglima Perang. Sunan Kudus banyak belajar pada Sunan Kalijaga. Kemudian beliau berkelana ke aneka macam kawasan tandus di Jawa Tengah seperti Sragen, Simo hingga Gunung Kidul. Cara berdakwahnya pun memalsukan pendekatan Sunan Kalijaga: sangat toleran pada budaya setempat. Cara penyampaiannya bahkan lebih halus. Itu sebabnya para wali –yang kesusahan mencari pendakwah ke Kudus yang lebih banyak didominasi masyarakatnya pemeluk teguh-menunjuknya.

Cara Sunan Kudus mendekati penduduk Kudus ialah dengan memanfaatkan simbol-simbol Hindu dan Budha. Hal itu tampakdari arsitektur masjid Kudus. Bentuk menara, gerbang dan pancuran/padasan wudhu yang melambangkan delapan jalan Budha. Sebuah wujud kompromi yang dijalankan Sunan Kudus.

Suatu waktu, beliau memancing masyarakat untuk pergi ke masjid mendengarkan tabligh-nya. Untuk itu, dia sengaja menambatkan sapinya yang diberi nama Kebo Gumarang di halaman masjid. Orang-orang Hindu yang mengagungkan sapi, menjadi simpati. Apalagi setelah mereka mendengar klarifikasi Sunan Kudus wacana surat Al Baqarah yang bermakna “sapi betina”. Sampai kini, sebagian masyarakat tradisional Kudus, masih menolak untuk menyembelih sapi.

Sunan Kudus juga menggubah dongeng-kisah ketauhidan. Kisah tersebut disusunnya secara berseri, sehingga masyarakat tertarik untuk mengikuti kelanjutannya. Sebuah pendekatan yang sepertinya mengadopsi cerita 1001 malam dari periode kekhalifahan Abbasiyah. Dengan begitulah Sunan Kudus mengikat masyarakatnya.

Bukan hanya berdakwah seperti itu yang dikerjakan Sunan Kudus. Sebagaimana ayahnya, dia juga pernah menjadi Panglima Perang Kesultanan Demak. Ia ikut bertempur saat Demak, di bawah kepemimpinan Sultan Prawata, bertempur melawan Adipati Jipang, Arya Penangsang.

menurut riwayat ia juga tergolong salah seorang pujangga yang memiliki gagasan mengarang dongeng-kisah pendek yang berisi filsafat serta berjiwa agama. diantara buah ciptaannya yang terkenal, yakni Gending Maskumambang dan Mijil. Adapun Imam Ja’far Sodiq yang populer di Iran itu tidak saja selaku seorang imam dari kaum Syi’ah, akan namun juga sebagai seorang yang terkemuka di dalam soal-soal hukum maupun ilmu wawasan yang lain.

Dengan demikian, maka berdasarkan ekonomis kita Ja’far Sodiq yang populer di Iran selaku seorang wali, seorang imam dari kalangan Syi’ah yang amat dipuja serta dihormati itu, kiranya bukanlah Ja’far Sodiq seorang wali yang menjadi salah seorang anggota dari kesembilan wali di Jawa, yang makamnya terdapat di kota Kudus, adapun Ja’far Sodiq yang lalu ini, populer dengan istilah Sunan Kudus. Disamping bertindak selaku guru agama Islam. juga selaku salah seorang yang kuat syariatnya, Senan Kudus-pun menjadi senopati dari kerajaan Islam di Demak

Antara lain yang termasuk bekas peninggalan ia adalah Masjid Raya di-Kudus, yang lalu dikenal dengan istilah masjid menara Kudus. Oleh karena di halaman masjid tersebut terdapat sebuah menara kuno yang indah. Mengenai asal-usulnya nama Kudus berdasarkan cerita (legenda) yang hidup dikalangan penduduk setempat yakni, bahwa dulu Sunan Kudus pernah pergi naik haji sambil menimba ilmu di tanah arab, kemudian beliaupun mengajar pula di sana. pada suatu abad, di tanah arab konon berjangkit suatu wabah penyakit yang membahayakan, penyakit mana kemudian menjadi reda, berkat jasa sunan kudus., oleh alasannya adalah itu, seorang amir disana berkenan untuk menawarkan suatu hadian kepada ia. akan namun ia menolak,hanya kenang-ingatan dia meminta suatu watu. Batu tersebut katanya berasal dari kota Baitul Makdis, atau Jeruzalem, maka sebagai peringatan kepada kota dimana Ja’far Sodiq hidup serta berdomisili, lalu diberikan nama Kudus. Bahkan menara yang terdapat di depan masjid itupun juga menjadi terkenal dengan istilah menara Kudus.

Adapun mengenai nama Kudus atau Al Kudus ini di dalam buku Encyclopedia Islam antara lain disebutkan : “Al kuds the usual arabic nama for Jeruzalem in later times, the olders writers call it commonly bait al makdis (according to some : mukaddas), with really meant the temple (of solomon), a translation of the hebrew bethamikdath, but itu because applied to the whole town.” Mengenai usaha Sunan Kudus dalam berbagi agama Islam tidak berbeda dengan para wali yang lain, yaitu selalu digunakan jalan akal, dengan siasat dan strategi yang demikian itu, rakyat mampu diajak memeluk Agama Islam. TintaTeras.com